Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani menegaskan bahwa kritik dan saran terhadap buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” merupakan bagian penting dari proses penyempurnaan karya ilmiah dan literasi sejarah nasional.
Menurut Lalu, masyarakat memiliki hak untuk membaca, menelaah, dan memberikan masukan secara kritis terhadap buku sejarah tersebut. Ia menilai partisipasi publik justru diperlukan agar buku yang menjadi rujukan pendidikan dan kebudayaan dapat terus diperbaiki.
“Silakan masyarakat membaca dan menelaah Buku Sejarah Indonesia yang baru. Jika ada kritik, masukan, atau catatan, itu justru penting sebagai bagian dari proses penyempurnaan,” kata dia.
Lalu memandang kehadiran buku sejarah baru sebagai langkah strategis dalam memperkaya literasi dan pemahaman masyarakat mengenai perjalanan bangsa Indonesia. Karena itu, ia mendorong keterlibatan akademisi, sejarawan, pendidik, serta pemerhati kebudayaan untuk memberikan kritik dan saran secara terbuka dan konstruktif.
Ia juga menegaskan bahwa apabila ditemukan kesalahan data, kekeliruan penulisan, atau penafsiran sejarah yang kurang tepat, pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan memiliki kewajiban untuk melakukan revisi.
“Kesalahan dalam penulisan buku adalah hal yang wajar. Tidak ada karya yang sepenuhnya sempurna. Karena itu, pemerintah tidak perlu malu untuk melakukan revisi jika memang ditemukan kekeliruan,” ujar dia.
Lebih lanjut, Lalu menilai sikap terbuka terhadap kritik mencerminkan tata kelola kebudayaan dan pendidikan yang sehat. Menurutnya, revisi buku sejarah justru menunjukkan komitmen negara dalam menghadirkan narasi sejarah yang akurat, berimbang, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
“Yang terpenting adalah keberanian untuk memperbaiki. Buku sejarah harus menjadi rujukan yang mendidik, bukan sekadar dokumen yang dipertahankan meski terdapat kesalahan,” kata dia.
Sebelumnya, Kementerian Kebudayaan meluncurkan buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” pada Minggu (14/12/2025). Buku tersebut disusun dalam 10 jilid oleh 123 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di Indonesia.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menjelaskan bahwa sepuluh jilid buku tersebut tidak dimaksudkan untuk menuliskan sejarah Indonesia secara menyeluruh, melainkan sebagai ringkasan perjalanan bangsa dari masa prasejarah hingga era Reformasi.
Cek Artikel dan Berita Lainnya di Google News


.webp)

















