Minggu, Oktober 19, 2025
spot_img

BERITA UNGGULAN

Ternyata, Kerajaan Nusantara Pernah Punya Pemimpin Perempuan yang Tegas, Bijaksana, dan Dicintai Rakyat

SuaraPemerintah.id – Budaya patriarki yang masih menghantui masyarakat modern hingga kini memang merupakan rantai budaya yang sulit diputuskan. Masih ada orang mengkerdilkan peran perempuan dan membatasinya hanya di ranah domestik.

Bahkan sebagian besar perempuan masih memiliki stigma bahwa tugas mereka adalah di dapur, mengurusi suami, anak dan rumah, titik! Oleh karena itu, mereka merasa bahwa pendidikan tinggi bukan menjadi suatu kebutuhan, malah sebaiknya dihindari. Apalagi menjadi pemimpin sebuah bangsa, itu hanya mimpi!

- Advertisement -

Padahal, pada masa Indonesia belum menemukan jati diri dan masih berupa pecahan kerajaan-kerajaan Nusantara, perempuan pernah tampil dalam kepemimpinan. Bukan menjadi simbol atau hiasan semata, melainkan berkontribusi nyata sampai-sampai prestasinya diakui oleh rakyat.

Kerajaan Samudera Pasai di Aceh, yang merupakan kerajaan Islam, ternyata pernah dipimpin oleh seorang perempuan bernama Sultanah Nahrasiyah. Dia menjadi perempuan pertama yang duduk sebagai raja di Aceh, yang merupakan anak dari Sultan Zainal Abidin putra Sultan Ahmad putra Sultan Muhammad putra Sultan Malik As-Shaleh.

- Advertisement -

Sultanah ini begitu dicintai rakyat karena mampu membawa kerajaan Samudera Pasai ke masa kejayaannya selama 20 tahun kepemimpinan, dari 1405-1428 Masehi. Menurut Prof. Ibrahim Alfian, dikutip dari Republika.co.id, Nahrasiyah terkenal sebagai sosok yang bijaksana dan arif. 

Dia memerintah dengan sifat keibuan dan penuh kasih. Saat itu, harkat dan martabat perempuan di mata masyarakat sangat mulia. Bahkan banyak perempuan menjadi penyiar agama.

Ibrahim juga menjelaskan bahwa rekam sejarah Nahrasiyah ini bisa dilihat dari nisannya yang indah. Makam tersebut berukirkan bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, yang maknanya:

“Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci Ratu yang terhormat almarhumah yang diampunkan dosanya Nahrasiyah… putri Sultanah Zainal Abidin putra Sulthan Ahmad putra Sulthan Muhammad Putra Sulthan Al Malikul Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampuni dosanya meninggal dunia dengan rahmat Allah pada Senin, 17 Dzulhijah 832.”

Sebelum Sultanah Nahrasiyah, masih ada perempuan Nusantara yang tercatat sejarah sebagai pemimpin kerajaan. Ratu Shima yang hidup hingga 695 Masehi pernah memimpin Kerajaan Kalingga, menggantikan suaminya bernama Raja Kartikeyasingha.

Berbeda dengan Nahrasiyah, Ratu Shima justru terkenal dengan ketegasannya. Kepemimpinannya ini membawa Kalingga menjadi kerajaan yang dikenal hampir di semua belahan dunia kala itu selama dia memerintah 21 tahun.

Dalam buku Membangun Indonesia Emas, Gunawan Sumodiningrat menuliskan bahwa nama Shima kerap dikaitkan dengan kata simo yang artinya ‘singa’. Akan tetapi, julukan ini justru membuat sang Ratu semakin dicintai rakyatnya, bukan ditakuti.

Kalingga merupakan kerajaan Hindu yang pernah menjadi salah satu yang terbesar di Jawa. Pusatnya berada di pesisir pantai utara Jawa yang kini menjadi wilayah Jepara, Jawa Tengah. Saat itu, Ratu Shima berhasil menguasai bandar dagang paling ramai yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Tarumanegara.

Buku Continuity And Change: Tradisi Pemikiran Islam di Jawa mencatat bahwa Kerajaan Kalingga telah menjalin kerja sama dengan Kekaisaran Cina sejak abad ke-5 Masehi. Dia juga berjasa meningkatkan ekonomi melalui pengembangan sektor pertanian.

Ratu Shima menerapkan sistem pengairan subak yang biasa dilakukan petani Hindu di Bali. Tak hanya itu, dia mendorong sektor kerajinan sebagai komoditi ekonomi. Pasalnya, warga Kalingga terkenal mahir membuat kerajinan tangan, dari membangun rumah, kapal atau perahu, serta berbagai macam perabotan rumah tangga. 

Dalam hal kebebasan beragama, Ratu Shima telah lebih dulu memiliki pemikiran yang visioner. Ketika di Nusantara sering terjadi pergesekan antar agama, Ratu Shima justru mengayomi pemeluk agama Buddha maupun pedagang Islam yang datang dari Timur Tengah.

Pada masa Ratu Shima, keamanan juga sangat terjaga berkat ketegasannya dalam menerapkan hukum. Dia tidak segan-segan menghukum anaknya sendiri ketika dianggap melakukan pelanggaran hukum, sesuatu yang sangat jarang terjadi di masa kini.

Sebuah cerita tentang sekantong emas yang sengaja dibiarkan tergeletak oleh Raja Ta-Shih di area alun-alun kerajaan, melegenda hingga sekarang. Raja yang hendak menguji Ratu Shima sengaja membiarkan emas tersebut di jalan, menunggu ada orang Kalingga yang mengambilnya.

Namun, kala itu tak ada satupun penduduk Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan milik mereka. Kantong emas itu pun tergeletak selama berbulan-bulan.

Lalu ketika anak Ratu Shima tidak sengaja menyentuh kantung tersebut dengan kakinya, sang ibu menjatuhkan hukuman potong kaki. Hal ini dia lakukan dengan sungguh berat hati karena insting keibuannya tentu berkata lain. Namun, hukum tetap harus dijalankan dan sang anak menerima dengan lapang dada.

Kepemimpinan para ratu kerajaan Nusantara tersebut bagai sebuah paradoks. Namun mereka memberi pelajaran serta contoh nyata bahwa siapapun bisa menjadi pemimpin selama dia memiliki kemampuan, terlepas dari gendernya. 

Ratu Shima menjadi pembuktian bahwa perempuan bisa menjadi sosok yang tegas, tak tanggung dalam menegakkan hukum juga tidak pandang bulu. Di sisi lain, Sultanah Nahrasiyah dengan kebijaksanaannya menjalankan pemerintahan hingga kerajaan mencapai kegemilangan. Tak berlebihan jika mereka menjadi contoh sosok pemimpin ideal yang dibutuhkan bangsa di masa kini.

- Advertisement -

Kirimkan Press Release berbagai aktivitas kegiatan Brand Anda ke email [email protected]

Artikel Terkait

Suara Hari Ini

Ikuti Kami

10,502FansSuka
392PengikutMengikuti
7PengikutMengikuti
2,910PelangganBerlangganan

Terbaru