Minggu, Oktober 26, 2025
spot_img

BERITA UNGGULAN

Pemerintah Ketuk Palu UMP 2022, Berapakah Gaji Layak Wartawan?

SuaraPemerintah.ID- Profesi wartawan adalah kerja intelektual. Selain kebutuhan hidup sehari-hari, wartawan juga perlu meningkatkan intelektualnya seperti membeli buku dan meningkatkan kompetensinya di dunia akademis.

Standar Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) kerap kali sering digunakan perusahaan media sebagai patokan untuk menggaji jurnalisnya.

- Advertisement -

Nominal UMP sendiri ditetapkan dari komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kebutuhan sandang, pangan dan papan yang disurvei oleh Dewan Pengupahan masing-masing provinsi.

Misalnya, laptop merupakan menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi para pekerja yang menjadi komponen KHL. Tapi bagi jurnalis, laptop bukanlah barang mewah melainkan kebutuhan utama wartawan untuk menunjang kinerja di lapangan yang makin dituntut lebih cepat dalam menyajikan informasi.

- Advertisement -

Alur kerja yang dituntut cepat, sering kali membuat para wartawan menghadapi tingkat stress yang tinggi, sehingga kebutuhan akan rekreasi sangatlah diperlukan. Terlebih, tanggung jawab wartawan sangatlah besar salah satunya menjadi penghubung antara sumber berita dan masyarakat luas.

Keakuratan merupakan satu hal penting dalam kerja seorang wartawan, tidak akurasinya informasi, tidak tepatnya penggunaan data, kesalahan fakta dan nama dalam sebuah berita, maka masyarakat pun mendapat informasi yang salah.

Sepertinya sulit dipercaya apabila wartawan digaji secara tak layak, tapi ya beginilah realitanya saat ini. Pada kenyataannya hari ini, gaji “kuli tinta” atau wartawan di Indonesia masih banyak yang di bawah rata-rata atau menerima gaji sangat rendah, dibandingkan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai pilar keempat demokrasi.

Sebelumnya, pada Maret-Desember 2020 posko pengaduan ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan LBH Pers menerima 150 pengaduan ketenagakerjaan di perusahaan media. Jenis pengaduan ketenagakerjaan yang diterima antara lain pemotongan upah hingga pemutusan hubungan kerja.

Kondisi tersebut yang melatarbelakangi AJI Jakarta melakukan survei upah riil dan upah layak jurnalis. Survei dilakukan pada Januari-Februari 2021 dengan metode kuesioner daring.

Lebih dari 100 responden yang terkumpul, ada 97 responden tervalidasi (51 persen responden perempuan, 47,42 persen responden laki-laki dan 1 persen responden tidak menyebutkan jenis kelamin). Sebanyak 93,8 persen responden mengaku belum mendapatkan upah layak.

Tidak hanya di bawah upah layak, AJI Jakarta bahkan menemukan upah yang masih di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebanyak 10 responden. Sebagaimana diketahui UMP DKI Jakarta pada 2021 adalah sebesar Rp 4.416.186.

Lantas berapa upah layak jurnalis pada 2021?

AJI Jakarta dalam menetapkan upah layak jurnalis merujuk kepada perhitungan Kebutuhan Hidup Layak per bulan di Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 18 Tahun 2020 dan disesuaikan dengan kebutuhan jurnalis pada masa pandemi.

“Kami menetapkan kebutuhan upah layak bagi jurnalis Jakarta tahun ini sebesar Rp 8.366.220. Dengan catatan, ada 10 dana simpanan dari kebutuhan hidup per bulan,” kata Ketua Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta Taufiqurrohman, Jumat (26/3/21), dalam diskusi daring ‘Upah Layak Jurnalis 2021.

Menanggapi survei upah jurnalis 2021 yang dilakukan AJI Jakarta, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya menjadikannya catatan serius lantaran berbeda jauh dengan UMP DKI Jakarta.

Agung memandang persoalan itu berkaitan dengan modal dan badan hukum, termasuk upah layak, sebagaimana tertuang di UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Ketidaklayakan upah berpotensi melahirkan sikap korupsi di kalangan wartawan. “Orang tidak mendapatkan upah layak, siapapun, sementara tanggungannya banyak, maka kecenderungan untuk berbuat korupsi itu ada,” ujar Agung.

Kondisi tersebut berimplikasi terhadap banyaknya pengaduan etik kepada Dewan Pers karena kualitas pemberitaan rendah. Padahal, Dewan Pers telah mengeluarkan aturan terkait Standar Perusahaan Pers.

Tak hanya kualitas pemberitaan, penyelewengan kerja jurnalistik karena persoalan kesejahteraan di perusahaan juga berdampak kepada jurnalis menjadi tidak profesional.

“Ada jurnalis yang menerima ‘amplop’ dari narasumber. Salah satu imbasnya, citra wartawan,” kata Agung.

Rupa ini yang menyebabkan generalisasi ‘wartawan buruk’ di mata publik, padahal tidak semua wartawan menerima pemberian lembaga atau individu tertentu, masih ada jurnalis yang independen dan profesional. Berkelindan dengan pagebluk Covid-19, perusahaan media semestinya dapat transparan kepada para pegawainya.

Perusahaan media harus terbuka ketika kondisinya sedang sulit. Diskusi antara pengusaha dan pekerja, kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin, jadi salah satu cara meredam kekisruhan ketenagakerjaan.

“Ketika memang ada pemasukan kurang, merugi, ini harus dibicarakan. Kalau perusahaan akan melakukan pengurangan maka harus disepakati oleh perusahaan dan pekerja terlebih dulu,” kata Ade.

Ade mengingatkan pekerja media yang haknya dilanggar agar tidak diam dan segera membentuk serikat. Pandemi Covid-19 juga berdampak kepada pola dan cara kerja, serta kondisi ekonomi pekerja media, namun produktivitas tak berkurang.

Adapun yang menyedihkan, karena alasan pengiklan menurun maka perusahaan harus me-PHK, merumahkan, dan mengurangi gaji karyawan. “Ini tiga pilihan yang terjadi selama pandemi,” tutur Ketua Bidang Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia Endah Lismartini.

Ketidakmampuan perusahaan dalam masa pandemi, mengakibatkan para pekerja media termasuk pihak yang rentan kesehatan, keselamatan, dan keamanannya.

Dalih efisiensi kadang tak disertai dengan forum negosiasi dua kubu. Hal ini menyulitkan para pekerja dan akhirnya mereka harus menerima keputusan sepihak. Kadang Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja jadi tameng perusahaan di balik vonisnya.

Bahkan pengalaman yang dialami Endah, serikat pekerja perusahaan yang menaunginya diabaikan oleh perusahaan. “Perusahaan seolah memosisikan diri sebagai lembaga yang tidak bisa digugat, tidak bisa diajak berdamai, tapi mengambil keputusan sepihak. Buat yang tidak ada serikat pekerja, itu lebih rentan lagi,” ujar dia.

Ketua Umum Serikat Pekerja Indopos Indra Bonaparte mengkritik lemahnya tugas dan fungsi Dinas Tenaga Kerja.

Dia meminta agar unit pengawasan tertib mengerjakan kewajibannya dan masih ada perusahaan yang tidak menerapkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan benar. “Pengawas harus lebih ketat mengawasi para pengusaha yang melanggar,” ucap dia.

Temuan Survei:

93,81 persen responden mengaku belum mendapatkan upah layak.

26,80 persen responden tidak mendapatkan dua hari libur dalam sepekan meski sudah bekerja lebih dari delapan jam setiap harinya.

10 responden mengaku digaji di bawah upah minimum provinsi.

47 responden belum berstatus karyawan tetap (9 responden mengaku sudah bekerja di atas dua tahun);
86 responden mengklaim tidak memiliki Serikat Pekerja.

13,40 persen responden mengaku tidak mendapat jaminan kesehatan dari perusahaannya.

67 responden yang bekerja lembur (64 responden tak mendapat upah lembur).

13 responden tidak bekerja dari rumah (7 responden tak mendapat perlengkapan protokol kesehatan saat bekerja di lapangan).

Berbasis 50 responden perempuan, 35 orang mengaku nihil cuti haid dan/atau tidak tahu ada cuti haid di perusahaannya.

Dari 44 media, hanya responden dari MetroTv, Republika, Medcom, Detik dan Kumparan yang mengaku sudah memiliki ruang laktasi.

- Advertisement -

Kirimkan Press Release berbagai aktivitas kegiatan Brand Anda ke email [email protected]

Artikel Terkait

Suara Hari Ini

Ikuti Kami

10,502FansSuka
392PengikutMengikuti
7PengikutMengikuti
2,910PelangganBerlangganan

Terbaru