SuaraPemerintah.ID – Pandemi Covid-19 yang mulai menginfeksi sebagian masyarakat dunia per akhir tahun 2019, dan resmi dinyatakan masuk ke Indonesia pada bulan Maret 2020. Sejak itu, proses belajar mengajar, bekerja dilakukan secara daring/online, melalui berbagai media. Anak-anak sekolah melakukan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan metode e-learning.
Bulan April tahun 2021, secara bertahap sekolah-sekolah mulai melakukan proses belajar tatap muka secara terbatas. Terbatas di sini artinya masuk sekolah bergantian antar siswa, juga dapat berarti terbatas lamanya waktu belajar di sekolah. Pemerintah tampaknya berencana pada semester mendatang, pada bulan Juli atau Agustus tahun 2022, belajar tatap muka sepenuhnya akan dilaksanakan.
Proses belajar daring/online/e-learning jika diterapkan di Indonesia memang masih banyak kendala. Apalagi hal ini memang terjadi tanpa direncanakan, akibat dari adanya pandemi Covid-19. Keterbatasan-keterbatasan tersebut berasal dari lemahnya infrastruktur jaringan internet, fasilitas dan kemampuan yang dimiliki keluarga untuk mengikuti belajar, kemampuan dan fasilitas pengajar beserta rancangan materi dan kurikulum, bahkan interaksi antara para siswa, dan lain-lain.
Ternyata selama pandemi, jumlah siswa putus sekolah meningkat. PJJ (pembelajaran jarak jauh) keragaman kondisi keluarga, keragaman kondisi daerah, kesenjangan digitalisasi antar daerah di Indonesia, pedesaan perkotaan menjadi tertuduh kondisi ini.
Kepedulian terhadap dunia pendidikan dan sekaligus keingintahuan akan gambaran siswa setelah pandemi, mendorong penulis melakukan beberapa in-depth interview kepada beberapa pengajar yang bertugas di beberapa daerah dengan karakter urban, sub-urban, rural, beberapa tingkatan sekolah, dasar dan menengah. Poin-poin yang ingin diketahui adalah mengenai perbedaan yang terjadi pada anak didik mereka, jika dibandingkan antara sebelum pandemi (sekitar dua tahun lalu) dengan kondisi setelah pandemi (saat ini, ketika sekolah tatap muka terbatas mulai dilakukan).
Kesimpulan awal yang didapatkan adalah hampir semua pengajar yang diwawancarai berharap tidak dilakukan lagi kegiatan belajar online, karena berdampak buruk ke anak-anak sekolah. Bahkan beberapa pengajar merasa pendidikan akan hancur jika sistem online terus dilakukan. Apakah akan terjadi lost generation? Hiks….
Dari wawancara didapatkan data, beberapa kecenderungan kuat yang terjadi pada siswa selama belajar di rumah – selama pandemi, yaitu :
- Kecenderungan penurunan kualitas belajar dan kemampuan menangkap materi yang diajarkan. Ini adalah tugas berat para pengajar untuk pelan-pelan menormalisasi lagi kemampuan yang seakan nyaris hilang karena tidak digunakan selama pandemi;
- Kecenderungan penurunan kualitas karakter, etika, adab, sopan santun pergaulan siswa terhadap guru, orang tua dan lingkungannya. Ini seakan suatu pengakuan bahwa selain sebagai pengajar, guru-guru ternyata memiliki peran sangat penting sebagai tenaga pendidik karakter kepada anak-anak yang usia sekolah, SD SMP SMU.
Berdasarkan wawancara dan pengamatan penulis, kualitas pengajaran/kemampuan siswa selama pandemi mengalami penurunan, disebabkan oleh:
- Keterbatasan infrastruktur, fasilitas sekolah dan keluarga;
- Kemampuan/daya serap belajar via online yang memang relatif lebih rendah;
- Materi dan kurikulum yang masih perlu disesuaikan dengan metode belajar yang berbeda ini;
- Kemampuan pengajar menggunakan media pembelajar online masih perlu ditingkatkan.
Untuk mempertahankan kualitas belajar, sebenarnya pemerintah sudah berusaha meminimalkan kendala-kendala yang dialami anak-anak, terutama alasan karena ketidak mampuan membeli kuota internet, dengan mengirimkan kuota internet gratis kepada setiap siswa. Sayangnya hal ini tidak dapat maksimal, dikarenakan:
- Seringkali nomor-nomor yang mendapatkan kuota gratis tidak aktif lagi, dan tidak di follow up lagi ketidak berhasilan pengiriman oleh provider telpon;
- Nomor yang dikirimkan salah, dan akhirnya tidak mendapatkan kuota internet;
- Keterbatasan sinyal internet di suatu wilayah, karena masih lemahnya infrastruktur. Saat kondisi ini terjadi, siswa bisa saja menggunakan kuotanya saat sinyal bisa terasa cukup kuat, umumnya malam hari;
- Di daerah-daerah tertentu, infrastruktur internet masih meruapakan barang mewah alias tidak ada, sehingga memang tidak memungkinkan menggunakan kuota gratis tersebut;
- Tidak memiliki gadget yang bisa diapakai untuk belajar online.
Selain kecenderungan kualitas belajar, penurunan kualitas karakter/adab/etika/sopan santun, juga sangat terasakan oleh para pengajar. Sebenarnya mengapa hal ini bisa terjadi? Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebabnya, di antaranya adalah:
- Untuk karakter-karakter khusus, seperti kedisiplinan, kepatuhan mengerjakan tugas, sopan santun, guru masih masih menjadi andalan untuk penyampaiannya ke siswa;
- Antara siswa dan guru, relasi yang terjadi adalah relasi sosial fungsional dengan rasa takzim dan segan, sehingga penanaman karakter cenderung lebih efektif;
- Kesibukan orang tua yang bertambah saat belajar online dilaksanakan, karena bahkan ikut belajar juga, mengakibatkan berkurangnya porsi untuk mengajarkan karakter pada anak-anaknya;
- Suasana belajar yang penuh kedisiplinan menghilang dalam dua tahun terakhir.
Yang membuat menarik nafas panjang, efek buruk cenderung makin terasa pada siswa-siswa dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke bawah. Karena keterbatasan fasilitas dan kemampuan keluarga untuk mendukung anak-anaknya melakukan kegiatan belajar dengan maksimal.
Jika saja para pengajar yang diwawancarai bisa memilih, mereka sangat berharap KBM tidak lagi dilakukan dengan sistem online. Salah seorang pengajar bahkan berpendapat kondisi ini akan semakin tidak terkendalikan, dan kualitas belajar menuju titik nadir.
Apa sajakah yang harus dilakukan pada kondisi ini? Bagaimana agar kondisi buruk ini bisa dilewati ? Apakah perlu menggandeng lembaga PR agar kondisi ini segera bisa diatasi…
Oleh : Lisa Noviani (Praktisi Riset Pasar, Penulis dan Ibu Tiga Siswa)