SuaraPemerintah.ID – Sidang pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah mengalami perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (27/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh seorang Jaksa aktif bernama Jovi Andrea Bachtiar. Materi yang diujikan oleh Pemohon meliputi Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6 huruf a, dan Pasal 6 ayat (1) KUHAP, serta Pasal 45 ayat (1) UU KPK.
Sidang dengan agenda perbaikan permohonan Nomor 25/PUU-XXII/2024 ini dipimpin oleh panel hakim yang terdiri dari Ketua MK Suhartoyo, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Kuasa hukum Pemohon, Buce Abraham Beruat, menyampaikan bahwa permohonan telah diperbaiki sesuai dengan arahan dari hakim konstitusi. Salah satu perbaikan yang dilakukan adalah penambahan poin pada bagian kedudukan hukum.
“Penambahan dua poin dilakukan pada bagian kedudukan hukum, yaitu pada poin kelima halaman lima dan halaman delapan,” ungkapnya.
Selain itu, terdapat perbaikan pada bagian alasan permohonan. Pemohon meminta adanya ketegasan dari pembuat Undang-Undang mengenai keberadaan multi agensi dalam penanganan tindak pidana tertentu yang baru. Praktik multi agensi dalam penyidikan tindak pidana merupakan bagian dari tren global dalam upaya memberantas kejahatan, terutama kejahatan yang bersifat luar biasa.
Sebelumnya, MK telah menggelar sidang perdana permohonan Nomor 25/PUU-XXII/2024 dalam perkara pengujian materiil KUHAP dan UU KPK terhadap UUD 1945, pada Selasa (13/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan tersebut juga diajukan oleh seorang Jaksa aktif bernama Jovi Andrea Bachtiar. Pemohon mengujikan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6 huruf a, dan Pasal 6 ayat (1) KUHAP serta Pasal 45 ayat (1) UU KPK.
Kuasa hukum Pemohon, Muhammad Ardi Langga, menyampaikan adanya pertentangan antara KUHAP dan UU Kejaksaan yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, khususnya korupsi.
Ardi menegaskan bahwa pada dasarnya, Pemohon ingin MK memperjelas kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, terutama korupsi, dalam KUHAP dan UU KPK untuk menciptakan kepastian hukum sesuai dengan konsep negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa Pasal 1 angka 1 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama tidak diartikan sebagai “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa yang diberikan kewenangan khusus melakukan penyidikan perkara tertentu berdasarkan undang-undang, pegawai negeri sipil tertentu, atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Pemohon juga meminta MK menyatakan bahwa Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama tidak diartikan sebagai “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”
Selain itu, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa Pasal 6 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama tidak diartikan sebagai “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa yang diberikan kewenangan khusus melakukan penyidikan perkara tertentu berdasarkan undang-undang, pegawai negeri sipil tertentu, atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Terakhir, Pemohon juga meminta MK menyatakan bahwa Pasal 45 ayat (1) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama tidak diartikan sebagai “Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pejabat Kepolisian Republik Indonesia, atau Jaksa.”
Cek Artikel dan Berita yang lain di Google News