Selasa, Oktober 14, 2025
spot_img

BERITA UNGGULAN

Mengenal Badai Sitokin “Menyerang” Youtuber Deddy Corbuzier

SuaraPemerintah.ID– YouTuber Indonesia, Deddy Corbuzier, curhat perihal kronologi yang dialami terserang badai sitokin setelah dinyatakan terpapar Covid-19. Curhatan tersebut diutarakan langsung kepada Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin melalui video podcast di YouTube Deddy Corbuzier, Rabu (25/8/21).

Pria berkepala plontos ini mengaku sempat terinfeksi positif Covid-19 selama dua pekan sebelum mengalami badai sitokin. Namun, pada pekan kedua Deddy mengalami demam tinggi 41 derajat Celcius, dan memutuskan menjalani tes CT toraks.

- Advertisement -

Setelah menjalani tes CT toraks, hasil menujukkan ada beberapa kerusakan dalam tubuhnya. Ground glass opacity (GGO) dalam tubuh Deddy mengalami kerusakan di persentase 30 persen

“Panas 41 derajat, cek CT toraks, GGO saya 30 persen, besoknya lebih parah kerusakannya,” curhat Deddy Corbuzier kepada Budi Gunadi Sadikin.

- Advertisement -

Besoknya, lanjut Deddy, hasil dari tes CT toraks naik menjadi 60-70 persen. Ini membuat Deddy harus dirawat di rumah sakit agar mendapatkan pertolongan medis. Pada saat bertemu dokter, Deddy baru mengetahui dirinya terkena badai sitokin.

“Dokternya bilang jadi kalau saturasinya masih segini 97 persen, masih bisa dirawat,” kata Deddy menirukan ucapan dokter tersebut.

Dengan saturasi masih tinggi, yakni 97 persen, membuat Deddy tidak dilarikan ke ICU dan tidak dipasang ventilator (alat bantu pernapasan). Kondisi semakin parah membuat saturasi dalam tubuhnya menurun. Namun, kadar oksigen dalam tubuhnya masih normal 95 persen.

“Dokter ngomong kayaknya ini cadangan oksigen di tubuhnya banyak, karena olahraga, karena latihan. Ternyata nolong, dan tidak ada komorbid ternyata nolong,” ucap Sang Mentalis tersebut.

Selama menjalani perawatan di rumah sakit, Deddy diberikan obat parasetamol menurunkan panas. Deddy mengaku saat terkena badai sitokin dirinya mengalami suhu panas tidak menentu, tidak bisa berdiri, hingga mengalami vertigo parah.

“Panas sudah enggak karuan, berdiri sudah enggak bisa. Berdiri itu vertigo, muter pusing, panas naik turun. Badan tuh kayak digebukin, cuma satu-satunya penyelamat saya napas masih bisa,” pungkasnya.

Sekedar informasi dikutip dari laman halodoc, badai sitokin merupakan salah satu komplikasi yang bisa dialami oleh penderita COVID-19. Kondisi ini perlu diwaspadai dan perlu segera ditangani secara intensif. Bila dibiarkan tanpa penanganan, badai sitokin dapat menyebabkan kegagalan fungsi organ hingga kematian.

Badai sitokin (cytokine storm) terjadi ketika tubuh melepaskan terlalu banyak sitokin ke dalam darah dalam jangka waktu sangat cepat. Kondisi ini membuat sel imun justru menyerang jaringan dan sel tubuh sehat, sehingga menyebabkan peradangan. Kondisi ini diketahui dengan pemeriksaan D-dimer dan CRP pada penderita COVID-19.

Pada penderita COVID-19, badai sitokin menyerang jaringan paru-paru dan pembuluh darah. Alveoli atau kantung udara kecil di paru-paru akan dipenuhi oleh cairan, sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran oksigen. Itulah sebabnya mengapa penderita COVID-19 kerap mengalami sesak napas.

Sebagian besar penderita COVID-19 mengalami badai sitokin mengalami demam dan sesak napas hingga membutuhkan alat batu napas atau ventilator. Kondisi ini biasanya terjadi sekitar 6–7 hari setelah gejala COVID-19 muncul.

Selain demam dan sesak napas, badai sitokin juga menyebabkan berbagai gejala, seperti kedinginan atau menggigil, kelelahan, pembengkakan di tungkai, mual dan muntah, nyeri otot dan persendian, sakit kepala, ruam kulit, batuk, napas cepat, kejang, sulit mengendalikan gerakan, kebingungan dan halusinasi,tekanan darah sangat rendah,penggumpalan darah.

Penderita COVID-19 yang mengalami badai sitokin memerlukan perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Beberapa langkah penanganan akan dilakukan dokter meliputi:

Pemantauan tanda-tanda vital, meliputi tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh, secara intensif, pemasangan mesin ventilator, pemberian cairan melalui infus, pemantauan kadar elektrolit Cuci darah (hemodialisis), pemberian obat anakinra atau tocilizumab (actemra) untuk menghambat aktivitas sitokin.

Meski demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penanganan penderita COVID-19 mengalami badai sitokin. Badai sitokis dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh dan bisa mengancam nyawa. Agar terhindar dari kondisi ini, kita disarankan selalu mematuhi protokol kesehatan kapan saja dan di mana saja.

- Advertisement -

Kirimkan Press Release berbagai aktivitas kegiatan Brand Anda ke email [email protected]

Artikel Terkait

Suara Hari Ini

Ikuti Kami

10,502FansSuka
392PengikutMengikuti
7PengikutMengikuti
2,910PelangganBerlangganan

Terbaru