SuaraPemerintah.ID – Tradisi “salam tempel” saat Lebaran menjadi salah satu hal yang dinanti terutama bagi anak-anak di berbagai wilayah Indonesia. Mereka akan bertandang ke rumah-rumah warga, bersilaturahmi meraih tangan orang-orang tua lalu mencium atau menempelkan ke jidat mereka dan setelah itu pamit dengan gembira sambil melambaikan selembar atau dua lembar pecahan uang kertas terbaru.
Dengan diizinkannya kembali merayakan Idulfitri di tahun ini setelah dua tahun berturut-turut bersilaturahmi dilarang untuk mencegah meningkatnya penularan Covid-19, maka tradisi yang oleh orang Betawi disebut “nanggok” itu pun dipastikan akan muncul kembali.
Menangkap peluang itu, sudah beberapa hari yang lalu belasan inang-inang mulai berjejer di kawasan Kota Tua, Jakarta. Jasa penukaran uang ini mulai ramai bermunculan saat mendekati hari Lebaran.
Setiap hari, inang-inang membawa belasan hingga puluhan juta uang di dalam kantongnya. Hal ini bisa saja berisiko, mengingat tidak adanya pengamanan khusus. Saat ditanya apakah inang-inang khawatir dengan ancaman perampokan, mereka memberi respon biasa saja.
“Kita kan rame-rame di sini, jadi saling menjaga aja,” ujar Yogi, salah satu inang-inang seperti dikutip dari detik.com, Sabtu (23/04).
Bahkan menurut Yogi, ia lebih khawatir dengan kendala cuaca yang kerap menghambat. Omzetnya bisa turun saat cuaca tidak mendukung. “Kalo hujan, siapa sih yang mau minggir? Macet lagi, kan,” katanya.
Yogi bisa menukarkan uang antara Rp5 juta hingga Rp15 juta perharinya. Bahkan, kalau sedang amai nominalnya bakal lebih besar. Adapun keuntungan yang diambil Yogi adalah Rp10.000,- untuk setiap penukaran Rp100.000,-. Puncak transaksi biasanya akan terjadi pada H-5 hingga H-3 menjelang Lebaran. “Pas rame paling kalau bank udah tutup. Bisa sampe Rp50 juta,” kata Yogi.
Sementara Rianto, inang-inang lain di Kota Tua mengaku bisa menukarkan uang antara Rp2 juta sampai Rp10 juta per hari. Omzet tersebut mulai membaik dibandingkan tahun lalu. “Baru tahun ini aja, tahun kemarin pas awal pandemi sepi,” ujarnya.
Berbeda dengan Yogi, Rianto mengambil untung sebesar Rp15.000,- untuk penukaran Rp100.000,-. Yogi dan Rianto sepakat, pecahan Rp5.000,- adalah yang paling laris diburu masyarakat.
“Paling laris Rp5.000,-, makanya kalo Rp5.000,- jarang boleh ditawar, susah dicarinya juga. Di bank kan paling sering abis Rp5.000,-,” ungkap Yogi. Sementara itu, pecahan Rp20.000,- adalah yang paling sedikit diminati.