SuaraPemerintah.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan proses hukum mantan Gubernur Papua, Lukas Enembe terkait kasus suap dan gratifikasi serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) telah berakhir.
Diakhirinya kasus tersebut sebab, Lukas Enembe dikabarkan telah meninggal dunia pada Selasa (26/12). Lukas meninggal saat menjalani hukuman atas kasus korupsi.
Dia dinyatakan bersalah menerima suap dan dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar serta uang pengganti Rp47,8 miliar.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan penyidikan kasus yang menjerat Lukas dihentikan karena Lukas meninggal dunia.
“Sepengetahuan saya, dengan meninggalnya tersangka, maka hak menuntut, baik dalam perkara tindak pidana korupsi maupun TPPU, berakhir demi hukum,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang dilansir dari detikcom, Selasa (26/12).
Kendati demikian, Tanak menerangkan negara masih mempunyai hak menuntut ganti rugi keuangan negara melalui gugatan perdata. Caranya, KPK harus menyerahkan seluruh berkas Lukas ke jaksa pengacara negara (JPN) agar dapat mengajukan gugatan kerugian negara.
“Tetapi negara masih mempunyai hak menuntut ganti rugi keuangan negara melalui proses hukum perdata dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri,” kata Tanak.
“Untuk melaksanakan hak menuntut kerugian keuangan negara melalui proses gugatan dalam hukum perdata, KPK harus menyerahkan seluruh berkas perkara almarhum Enembe kepada kejaksaan agar jaksa pengacara negara (JPN) dapat mengajukan gugatan ganti kerugian keuangan negara melalui pengadilan negeri,” imbuhnya.
Lantas, bagaimana aturan penghentian penyidikan perkara yang ada di KPK?
Dilihat dalam Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 tentang KPK, Rabu (27/12/2023), KPK dapat menghentikan penyidikan suatu perkara. Aturan soal penghentian kasus oleh KPK itu terdapat dalam pasal 40.
Berikut isinya:
Pasal 40
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
(3) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik.
(4) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Selain dalam UU KPK, aturan soal penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) juga terdapat dalam KUHP dan KUHAP. Dalam KUHP, terdapat pasal yang mengatur bahwa proses hukum terhadap suatu kasus dinyatakan berhenti jika tersangka meninggal dunia.
Berikut aturannya:
Pasal 77
Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.
Pasal 83
Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.
KUHAP juga mengatur soal penerbitan SP3. Berikut aturannya:
Pasal 109
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Cek Artikel dan Berita yang lainnya di Google News