Menteri Perdagangan RI Budi Santoso menegaskan pentingnya reformasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang bersifat inklusif dan berorientasi pada semangat kebersamaan antarnegara anggota. Kedua hal ini diperlukan untuk menghadapi tantangan besar yang tengah dihadapi sistem perdagangan multilateral.
Pernyataan tersebut disampaikan Mendag Budi dalam Informal WTO Working Dinner di Gqeberha, Afrika Selatan, Kamis (9/10). Forum ini dilaksanakan di sela-sela Trade and Investment Ministerial Meeting (TIMM) G20 yang dihadiri para Menteri Perdagangan anggota G20 dan WTO.
“Krisis global saat ini telah mengikis kepercayaan terhadap peran WTO. Banyak pihak menilai bahwa lembaga ini sudah tidak relevan, padahal masalah utamanya justru terletak pada perbedaan mendasar antaranggota. Untuk itu, diperlukan reformasi WTO yang bersifat inklusif dan berorientasi pada semangat kebersamaan antarnegara anggota,” ujar Mendag Budi.
Menurut Mendag Budi, reformasi WTO perlu dimaknai secara luas. Hal itu tidak hanya sebagai upaya perbaikan kelembagaan, tetapi juga pembaruan aturan dan proses negosiasi agar lebih adaptif terhadap tantangan global.
“Bagi setiap anggota, reformasi WTO memiliki makna berbeda. Selain perbaikan institusi, reformasi juga mencakup peningkatan seluruh fungsi WTO,” terang Mendag Budi.
Lebih lanjut, Mendag Budi menyoroti pentingnya menjaga prinsip pengambilan keputusan berbasis konsensus sembari mencari cara menghindari kebuntuan prosedural. Ia juga mengusulkan agar setiap negara mencatat secara terbuka kepentingan nasional yang menjadi dasar penolakan suatu konsensus. Hal ini dapat mencegah tindakan penghalangan yang bersifat taktis atau tidak substantif.
Terkait mekanisme penyelesaian sengketa, Mendag Budi menyebutkan sejumlah kasus formal yang diajukan ke WTO justru meningkat dibanding tahun sebelumnya. “Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem multilateral masih mampu bekerja bahkan dalam kondisi yang melemah. Oleh karena itu, reformasi sistem penyelesaian sengketa perlu segera dituntaskan agar dapat diterima seluruh anggota,” tambahnya.
Mendag Budi kembali menekankan, WTO berdiri di atas tiga pilar utama, yakni pemantauan (monitoring), penyelesaian sengketa (dispute settlement), dan negosiasi. “Dari ketiga pilar tersebut, pemantauan dinilai berjalan baik, sementara penyelesaian sengketa dan negosiasi menghadapi tantangan politik yang tidak ringan,” tuturnya.
Ia pun mengingatkan para anggota WTO untuk fokus pada proses reformasi secara bertahap. Pembenahan WTO harus berangkat dari kesadaran kolektif negara-negara anggota, bukan semata menyalahkan institusi.
“WTO adalah organisasi yang digerakkan oleh anggota. Untuk itu, tanggung jawab keberhasilan atau kegagalannya ada di tangan kita sendiri,” pungkas Mendag Budi.
Cek Artikel dan Berita Lainnya di Google News