SuaraPemerintah.ID – Perumahan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi banyak orang. Namun sayangnya, tidak semua masyarakat bisa mengakses atau memiliki akses dan juga kemampuan untuk membeli atau menyewa rumah.
Hal itu dikatakan Galuh Syahbana Indraprahasta, ketua Kelompok Riset Dinamika Dunia Perkotaan, Pusat Riset Kependudukan (PRK), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam acara Urban Lecture Series #33 “Penyediaan dan Akses (Yang Adil) Terhadap Perumahan: Wawasan dari Malaysia dan Indonesia”, Selasa (09/07).
Pada kuliah ini, hadir pembicara dari dua negara yaitu Indonesia dan Malaysia. Temi Indriati Miranda, peneliti PRK mengungkap beberapa hal diawal paparannya yang berjudul “FLPP untuk Kelompok Kelas Pekerja Pemilik Rumah di Jabodetabek”.
Ia mengawali dengan menjelaskan pandanggan dari tulisan Habitat for Humanity tahun 2021. Bahwa perumahan merupakan komponen penting dari agenda Sustainable Development 2030. Perumahan juga merupakan pendorong penting untuk mencapai banyak tujuan pembangunan berkelanjutan. Hal itu karena perumahan memberikan manfaat dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan peluang ekonomi. Maka perumahan mempunyai dampak yang signifikan terhadap masyarakat dan kehidupan.
Temi mengatakan bahwa 51% penduduk Jakarta tinggal di shelter yang bukan milik mereka, berdasar data tulisan Susenas tahun 2021. Jadi lebih dari 12 juta keluarga di Indonesia bukan pemilik rumah. Sedangkan, 4,39 juta (dari 12 juta tersebut) merupakan keluarga milenial Indonesia yang belum memiliki rumah.
Masalah lainnya yang dihadapi yaitu adanya kesenjangan antara perumahan terjangkau dan perumahan pinjaman. Juga, adanya backlog perumahan di Indonesia yang mencapai sekitar 12,7 juta unit pada tahun 2023.
“Jika kita berbicara tentang perumahan tidak selalu tentang pemilik rumah, bukan? Kita juga berbicara tentang akses terhadap perumahan. Namun ketika pemerintah mendorong masyarakat untuk menjadi pemilik rumah. Berarti kita berbicara tentang aset. Maka kita juga bicara soal indikator kesejahteraan,” ujarnya.
Temi memperjelas lagi, saat ini, masyarakat berpenghasilan menengah didorong untuk menjadi pemilik rumah. Namun banyak sekali program yang dilakukan pemerintah Indonesia agar keluarga miskin mendapatkan akses terhadap perumahan, meskipun bukan menjadi pemilik rumah.
Misalnya saja, ada 5,9 juta unit sewa yang dibuat oleh pemerintah di Indonesia bagi masyarakat. Didukung pula oleh pemerintah daerah yang menyediakan transportasi umum, seperti Trans Jakarta. Hal itu guna membuat masyarakat yang tinggal di perumahan sewa dapat saling terhubung dan sekaligus untuk mobile ke Jakarta.
Lebih lanjut, Temi menjelaskan terkait program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang merupakan salah satu program perumahan yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia bagi para kelas pekerja (menengah kebawah). Menurut Temi, program ini cukup membantu. Sebab program ini menawarkan KPR 20 tahun dengan bunga hanya 5% dan hanya memiliki uang muka 1% dari harga pembelian.
Akan tetapi program ini hanya diperuntukkan bagi keluarga yang mempunyai gaji single income maksimal 7 juta rupiah dan juga untuk keluarga double income sekitar 8 juta rupiah.
Namun dalam pelaksanaannya, program tersebut menemukan beberapa permasalahan. Misalnya, banyak jenis perumahan khas seperti ini yang memiliki permasalahan terkait lokasi yang tidak ramah, jauh sekali dari pusat kota, area banjir atau hal-hal lain yang perlu lebih diperhatikan. Masalah lainnya yaitu pembeli yang mempunyai masalah dengan BI checking karena mereka memiliki sangkutan pinjaman daring lain.
Profesor di PRK BRIN ini juga menjelaskan beberapa alasan secara umum mengapa kelas pekerja di Indonesia mempunyai masalah atau hambatan untuk memiliki rumah pertama mereka. Yaitu, masalah keuangan terkait prioritas pinjaman, di mana sebagian besar generasi milenial lebih memilih membeli mobil/motor dahulu, baru perumahan. Juga masalah terkait kemampuan uang muka, yakni tidak mampu membayar uang muka karena perilaku konsumerisme. Lalu masalah non keuangan seperti masalah rumah tangga, yaitu 1,77 juta keluarga tinggal di rumah orang tua, dan lain – lain, serta stabilitas kerja.
“Akses untuk mendapatkan rumah itu mudah, namun banyak kendala yang dihadapi. Jika kita berbicara tentang masalah keuangan, menurut saya perilaku konsumerisme adalah sesuatu yang baru. Tapi ini adalah sesuatu yang perlu diperhatikan dan didiskusikan dengan pemerintah bagaimana cara mengatasi masalah ini,” tutup Temi.
Deva Fosterharoldas Swasto dari Universitas Gadjah Mada (UGM) memaparkan “Diskusi: Penyediaan dan Akses Perumahan (Perkotaan)”. Ia menjelaskan mulai dari definisi perumahan (perkotaan), aspek/masalah yang berkaitan dengan perumahan (perkotaan), peluang dan tantangan saat ini di sektor perumahan (perkotaan), serta beberapa contoh kasus yang berkaitan.
Menurut Deva, beberapa aspek dan permasalahan umum terkait dengan perumahan di Indonesia meliputi kuantitas dan kualitas, peraturan, pembiayaan, kepemilikan, kepuasan publik vs standar, dan lainnya. Ia lalu menjelaskan singkat terkait situasi dan kebijakan perumahan di Indonesia, serta sejarah perumahan di Indonesia sejak tahun 1970an hingga saat ini.
Profesor sekaligus Kepala Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik di UGM ini juga membeberkan beberapa masalah dan tantangan yang dihadapi terkait perumahan. Yaitu kesenjangan spasial, ekonomi, dan sosial. Invasi dan suksesi/ gentrifikasi. Ia juga mengulas isu bencana dan perubahan iklim, keterkaitan sektor informal dan formal, kapasitas transformatif sektor/industri perumahan bagi perekonomian dan kesejahteraan sosial, juga penggunaannya/ ide smart city, creative city, dan lainnya.
Selanjutnya, Nor Suzylah Sohaimi, selaku Dosen Senior pada Department of Planning and Property Development, School of Government, Universiti Utara Malaysia memaparkan “Menjelajahi Lanskap Perumahan Malaysia”. Ia mengatakan bahwa lanskap perumahan di Malaysia merupakan domain yang dinamis dan memiliki banyak aspek.
Ini mencerminkan pertumbuhan sosio-ekonomi dan tren urbanisasi di negara tersebut. Hal itu mulai dari rumah kampung tradisional hingga kondominium modern bertingkat tinggi, keragaman pilihan perumahan melayani berbagai kelompok sosial-ekonomi.
Dalam paparannya, Suzy sapaan akrabnya, berusaha mengeksplorasi evolusi perumahan di Malaysia, tren pasar saat ini, kebijakan pemerintah, serta tantangan dan peluang yang dihadapi sektor ini. Ia menjelaskan bagaimana sejarah dan evolusi perumahan di Malaysia sejak tahun 1957 hingga saat ini. Dijelaskan pula bagaimana Pemerintah Malaysia melakukan reformasi pasar dengan membuat perumahan sewa murah di beberapa wilayah untuk mengurangi area kumuh. Dari fokus kepada low cost perumahan menjadi fokus kepada affordable perumahan.
Ia lalu menjelaskan, perumahan yang affordable adalah perumahan yang berfokus mendorong untuk menyediakan rumah yang terjangkau bagi kelompok berpendapatan menengah. Ia juga menyediakan rumah terjangkau berdasarkan kemampuan membayar.
Terakhir, Suzy menjelaskan apa yang menjadi fokus kebijakan perumahan nasional di Malaysia. Yaitu, menjamin perumahan berkualitas baik untuk semua, meningkatkan aksesibilitas dan terjangkaunya perumahan, menjamin kualitas dan lingkungan tetangga yang kohesif, meningkatkan koordinasi perumahan dan transportasi untuk kualitas hidup yang lebih baik, serta penguatan kemampuan kelembagaan untuk menyampaikan NHP 2018-2025.
Dalam kesimpulan di akhir diskusi, Nimas Maninggar, peneliti PRK BRIN selaku moderator mengatakan bahwa baik di Malaysia maupun Indonesia, backlog housing merupakan masalah yang umum terjadi. Sedangkan yang menjadi masalah terbesarnya adalah mengatasi kualitas dan kuantitas. “Hal yang perlu kita garis bawahi bahwa pemerintah mempunyai peran penting dalam menciptakan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah perumahan,” tuturnya.
Terkait masalah perumahan tersebut, ada beberapa penyebabnya. Nimas menggarisbawahi, sebagaimana pendapat Suzy bahwa faktor yang paling penting adalah pendapatan. Sedangkan Deva mengatakan bahwa penyedia perumahan adalah faktor yang paling penting untuk dipertimbangkan oleh pemerintah. Di lain sisi, Temi mengungkapkan bahwa akses terhadap perumahan lah yang menjadi faktornya.
Cek Artikel dan Berita yang lainnya di Google News


.webp)

















