Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyatakan dukungannya terhadap langkah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang berencana mengirim siswa yang kerap terlibat tawuran dan tindakan onar ke barak militer untuk pembinaan karakter, mental, dan kedisiplinan.
Dalam pernyataannya saat berada di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (12/5), Natalius menegaskan bahwa program tersebut bukanlah bentuk pelanggaran HAM. Ia menyebutkan, siswa tidak akan menerima hukuman fisik, melainkan akan dibimbing oleh pihak militer dalam bentuk pendidikan disiplin yang terstruktur.
“Begini, bukan pendidikan militer. Siswa didik di barak, barak pendidikan. Artinya apa? Itu dalam rangka peningkatan yang pertama disiplin, kedua mental, ketiga tanggung jawab, dan keempat moral,” ujar Menteri Natalius di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (12/5).
Lebih lanjut, Natalius mengungkapkan bahwa dirinya telah melakukan klarifikasi langsung kepada Gubernur Dedi Mulyadi mengenai program tersebut. Hasilnya, tidak ditemukan adanya unsur kekerasan fisik dalam proses pembinaan yang dirancang, justru mereka mendapatkan ilmu tentang kedisiplinan yang dilatih tentara.
“Apabila ada perubahan kompetensi pada bidang pendidikan dan itu dibutuhkan,” kata dia, “kenapa tidak? Bahkan, pendidikan akan makin bagus sehingga di mana letak pelanggaran HAM-nya?”
Natalius melanjutkan, “Saya sudah kroscek, Pak Gubernur sudah datang ke kantor. Saya tanya ada fisik enggak, dia bilang tidak ada.”
Menurutnya, pembinaan dengan pendekatan disiplin bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan dan justru dapat meningkatkan kualitas moral dan tanggung jawab siswa. Ia menegaskan, selama tidak ada praktik corporal punishment seperti memukul, mencubit, atau tindakan fisik lainnya yang menyakitkan, maka program ini sah-sah saja dijalankan.
Menurutnya, pembinaan dengan pendekatan disiplin bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan dan justru dapat meningkatkan kualitas moral dan tanggung jawab siswa. Ia menegaskan, selama tidak ada praktik corporal punishment seperti cubit telinga, pukul pakai rotan, atau tindakan fisik lainnya yang menyakitkan, maka program ini sah-sah saja dijalankan.
Dalam istilah ini, kata Natalius, pemberian hukuman yang menimbulkan rasa sakit fisik pada tubuh seperti memukul, menampar, hingga mencambuk, bahkan sampai melukai seseorang.
“Itu corporal punishment, mungkin itu yang kami tidak setuju. Akan tetapi, saya sudah cek, Pak Dedi Mulyadi sudah sampaikan bahwa itu tidak ada. Lebih pada peningkatan satu kemampuan, keterampilan, dan produktivitasnya,” kata Natalius.
Menanggapi tudingan bahwa program tersebut merupakan pelanggaran HAM dan telah dilaporkan ke Komnas HAM, Natalius menilai tuduhan tersebut muncul karena kurangnya pemahaman terhadap konteks program.
Ia menekankan bahwa program ini tidak termasuk dalam kategori sistem peradilan anak (juvenile justice system) sebagaimana yang diatur dalam Deklarasi Beijing dan Deklarasi Riyadh.
“Kalau mereka mengerti dengan Deklarasi Beijing atau Deklarasi Riyadh tentang juvenile justice system atau sistem peradilan anak, ini bukan peradilan anak,” ucapnya.
Cek Artikel dan Berita Lainnya di Google News