Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 35 Tahun 2025 tentang Tata Cara Penerbitan Sertifikat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Regulasi baru ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat ekosistem industri nasional melalui kebijakan yang lebih murah, mudah, cepat, dan berbasis insentif.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan bahwa terbitnya Permenperin 35/2025 merupakan hasil pembahasan mendalam yang telah dimulai sejak Maret 2025, menggantikan Permenperin Nomor 16 Tahun 2011 yang sudah berusia lebih dari 14 tahun.
“Regulasi itu tidak bisa dan tidak boleh dianggap sakral. Ketika ada dinamika dan kebutuhan baru di lapangan, pemerintah harus berani meregulasi ulang. Karena itu sejak Maret 2025 kami sudah melakukan kick-off revisi terhadap Permenperin 16/2011,” ujar Menperin di Jakarta, Rabu (15/10).
Menperin menyampaikan bahwa Kebijakan TKDN berlaku untuk semua jenis produk industri yang dibeli oleh pemerintah dan BUMN/BUMD melalui PBJ (Pengadaan Barang dan Jasa) baik yang berteknologi tinggi ataupun tidak. Ukuran utamanya bukan terletak pada apakah produk tersebut tergolong high-tech atau tidak, atau dihasilkan oleh industri berteknologi tinggi, melainkan pada kemampuan industri dalam negeri untuk memproduksinya.
Apabila produk berteknologi tinggi telah dapat diproduksi oleh industri dalam negeri, maka pemerintah wajib memprioritaskan pembelian produk tersebut dibandingkan produk impor. Namun, jika industri dalam negeri belum memiliki kemampuan untuk memproduksinya, pemerintah diperbolehkan untuk melakukan pembelian produk impor sejenis.
Sedangkan pemberlakuan kebijakan TKDN terhadap produk industri yang dibeli oleh rumah tangga dan swasta bergantung kepada kebijakan Kementerian/Lembaga lain pembina sektor tersebut. “Jadi, pemberlakuan kebijakan TKDN pada produk high-tech tersebut tidak bergantung pada apakah industri high-tech atau tidak, melainkan pada penilaian Kementerian/Lembaga lain sebagai pembina sektor tersebut dalam upaya menarik investasi dan mengembangkan sektor tersebut,” jelas Menperin.
Agus pun menegaskan, proses revisi aturan TKD tersebut dilakukan atas kesadaran pemerintah sendiri, bukan karena tekanan dari negara lain. “Kalau kita ingat, Trump Tarif baru diberlakukan 1 April 2025. Sedangkan pembahasan revisi sudah kami mulai sebulan sebelumnya. Jadi, bukan karena Trump Tarif. Ini menunjukkan kesadaran kolektif bangsa untuk memperkuat produk dalam negeri, bukan karena tekanan eksternal,” tegasnya.
Menurut Menperin, lahirnya Permenperin 35/2025 juga menjadi bagian dari penyesuaian terhadap agenda besar pembangunan nasional, termasuk Asta Cita kedua, ketiga, dan kelima, yakni peningkatan nilai tambah sumber daya domestik, penguatan industri, dan perluasan kesempatan kerja.
“Tujuan utama kita sederhana, yakni setiap rupiah belanja produk dalam negeri yang dananya berasal dari pajak taxpayer dalam APBN maka tercipta nilai tambah sebesar Rp 2 di dalam negeri. Nilai tambah tersebut dinikmati oleh pekerja industri, perusahaan dan negara. Lain halnya jika dana APBN dari taxpayer dibelanjakan untuk produk impor maka nilai tambahnya dinikmati oleh industri dan pekerja serta pemerintah negara lain,” jelas Agus.
Menperin juga menyatakan bahwa logika kebijakan TKDN berangkat dari prinsip keadilan fiskal. Karena dana pengadaan barang dan jasa pemerintah berasal dari pajak rakyat, maka pembelanjaannya harus kembali kepada industri yang menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
“Kita ingin melindungi tenaga kerja dan ekosistem industri nasional. Karena itu, kalau sudah ada produk dalam negeri dengan nilai TKDN di atas 40 persen, maka belanja pemerintah wajib menggunakan produk tersebut dan tidak boleh impor,” ujarnya.
Menperin mengungkapkan, agar prinsip wajib TKDN dapat berjalan efektif, strategi pemerintah adalah membanjiri e-katalog LKPP dengan produk-produk buatan Indonesia.
“Karena PBJ dilakukan melalui e-katalog, maka kuncinya adalah memperbanyak produk dalam negeri yang masuk ke sana. Maka tata cara perhitungan sertifikat TKDN harus dibuat lebih murah, mudah, dan cepat,” ungkapnya.
Hingga saat ini, sebanyak 88 ribu produk dari 15 ribu perusahaan telah tersertifikasi TKDN dan masuk ke e-katalog. “Kami menargetkan dalam dua tahun ke depan jumlah tersebut bisa meningkat dua kali lipat,” tambahnya.
Selain aspek kuantitas, Permenperin 35/2025 juga menekankan insentif nilai tambah bagi industri. “Di peraturan baru ini, tata cara perhitungannya bukan hanya cepat dan efisien, tetapi juga mengandung nilai insentif yang sebelumnya tidak ada di regulasi lama,” lanjut Agus.
Menperin menjelaskan, industri yang berinvestasi dan membangun pabrik di wilayah NKRI otomatis mendapatkan nilai tambah 25 persen. Dari sisi tenaga kerja, 10 persen nilai tambah diberikan bagi penggunaan tenaga kerja lokal, serta 15 persen tambahan dari penerapan BMP.
“BMP ini kami sederhanakan dan buat lebih inklusif. Ada 15 faktor penentu BMP yang kami siapkan, mulai dari penerapan tenaga kerja lokal, penambahan investasi baru, kemitraan dan penguatan rantai pasok, hingga substitusi impor. Jika dijumlah, bobot totalnya bisa mencapai 38 persen,” papar Agus.
Melalui kombinasi TKDN dan BMP ini, pelaku industri dapat mencapai ambang batas 40 persen dengan lebih mudah. “Inilah bentuk nyata bagaimana kami menghadirkan regulasi yang murah, mudah, cepat, dan memberikan insentif nyata bagi dunia usaha,” imbuhnya.
Menperin juga mencontohkan keberhasilan penerapan kebijakan TKDN di sektor-sektor tertentu, seperti produk handphone, komputer genggam, dan tablet (HKT) serta alat kesehatan.
“Kami berterima kasih kepada Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi yang mewajibkan nilai TKDN minimal 35 persen untuk produk HKT agar bisa mendapatkan izin edar. Hasilnya, investasi HKT di Indonesia meningkat dan impor menurun,” ungkapnya.
Begitu pula dengan Kementerian Kesehatan, yang kini mewajibkan alat kesehatan memiliki nilai TKDN minimal 20–30 persen untuk bisa beredar di rumah sakit dalam negeri. “Kalau kementerian lain meniru kebijakan seperti ini, saya yakin manufaktur nasional kita akan terbang,” kata Agus optimistis.
Selain pengadaan pemerintah, Permenperin 35/2025 juga mendorong industri konsumen untuk mencantumkan nilai TKDN di produknya, meski tidak terikat kewajiban izin edar atau PBJ.
“Kita tidak mewajibkan, tapi mendorong. Harapannya nanti ketika anak-anak kita ke supermarket, mereka bisa melihat dua produk air minum kemasan misalnya, yang satu tanpa label TKDN, yang satu lagi mencantumkan nilai TKDN. Kami ingin mereka memilih yang ada TKDN-nya. Ini bagian dari kampanye besar cinta produk Indonesia,” tutur Menperin.
Menperin kembali menegaskan bahwa Permenperin 35/2025 bukan sekadar revisi administratif, tetapi reformasi strategis. “Permenperin ini lahir dari kesadaran kolektif bahwa kemandirian ekonomi hanya bisa dicapai bila belanja publik dan konsumsi nasional berpihak pada industri dalam negeri. Kita ingin TKDN bukan sekadar angka, tapi simbol kebanggaan bangsa,” pungkasnya.
Cek Artikel dan Berita Lainnya di Google News