SuaraPemerintah.ID– Saat itu Pukul 1.30 pagi. Setelah rencana mengungsikan Bung Karno dan Bung Hatta ke luar kota demi lancarnya “Revolusi” ala anak anak muda ini matang, Singgih segara menghubungi Shodancho Hamdani sudah bersiaga di Asrama Jaga monyet untuk segera bergerak.
Segera dilakukan pembagian tugas. Eisei Chudancho (Perwira Kesehatan) Dr. Soetjipto bakal menyiapkan obat-obatan yang diperlukan. Kemudian Heiki Shodancho Hamdani mempersiap kan kendaraan dan senjata, sedangkan tanggung jawab memimpin pengawalan ditangani Shodancho Soetrisno.
Sementara itu, tugas ubang sikang (perwira piket) di Asrama Djaga Monjet diserahterimakan kepada Shodancho Saleh Tedjakoesoemah.
Pukul 02.00, pasukan pemuda PETA tersebut meninggalkan asrama dengan dua kendaraan power wagon. Mereka membawa dua pistol Vickers, dua samurai, 60 butir peluru, lima pucuk senapan, lima buah taikeng (sangkur), lima setel seragam gyubei (prajurit), dan enam buah granat. Mereka berangkat untuk memenuhi perintah Shodancho Singgih menuju lokasi pertemuan awal di pinggir jalar besar dekat Pendjara Tjipinang, Djatinegara.
Lalu dalam pekat gelap pagi buta itu rombongan itu bergerak menuju rumah Bung Karno, sedang satu mobil yang di bawa Chairul Saleh berbelok menuju rumah Winoto Danoeasmoro unfuk meminjam satu mobil tambahan dan akan lanjut menjemput Bung Hatta.
Pukul 3.00 pagi mobil Rombongan satu ke rumah Bung Karno sudah sampai dan beberapa orang anggota PETA menyebar untuk membuat garis pengamanan, sedang Pemuda Soekarni dan beberapa anggota PETA Sejumlah 4 orang memasuki rumah Bung Karno dan langsung masuk ke kamar Bung Karno.
Bung Karno agak terkejut ketika melihat Soekarni memakai seragam PETA, belum hilang kaget Bung Karno karena tiba tiba rumah dan kamar nya di masuki tentara PETA. Tiba tiba Soekarni berujar, “Bung silahkan berpakaian sudah tiba saatnya!” ujar Soekarni.
Dengan suara di gaya gayakan (istilah Bung Karno) sembari membawa pistol dan samurai, “Baik,” Jawab Bung Karno.
Saat itu Bung Karno walau dengan marah sudah di kepala namun ia melihat sekeliling begitu banyak anggota PETA yang sepertinya sudah siap mati!. Bung Karno berpikir jika Ia layani konyol, maka dengan marah di tahan si Bung masih melayani omongan Soekarni.
“Sekarang sudah tiba saatnya aku kamu bunuh, tetapi jika aku pemimpin pemberontakan ini dan mengalami kegagalan, aku pasti kehilangan kepala dan kau juga, begitu juga lain-lain. Anak buah selalu ada gantinya.Tapi seorang pemimpin?. Kalau aku mati, coba pikirkan siapa akan bisa memimpin rakyat?,”
tegas Bung Karno berujar pada Soekarni walau dengan marah di dada dan tangan Bung Karno terkepal dengan keras menahan amarah.
Tiba tiba satu orang prajurit PETA di sebelah Soekarni entah siapa namanya sembari memainkan sangkur buatan Jepang.
“Oleh karena itu kami akan melarikan Bung ke luar kota, dini hari ini kami sudah putuskan membawa Bung Karno kesebuah tempat aman,” pinta pemuda berseragam PETA itu yang tidak diketahui namanya.
Gaya sekali cara pemuda itu bicara, Bung Karno pun sampai mendelik dan menatap muka Soekarni dan anak muda tadi dengan darah marah mendidih. Namun dipikir berulang olah Bung Karno jika Ia melawan semangat orang yang pegang senjata, konyol jadinya. maka Bung Karno menuruti permintaan Soekarni lalu Ia beranjak ke kamar Fatmawati dan Guntur, anak lelakinya yang masih berusia 9 bulan itu.
Dalam catatan Bung Karno ia mengingat, “Aku menemui Fatma sudah duduk dipinggir ranjang tidur sembari memegang Guntur, putra ku masih 9 bulan usianya ia tertidur di pangkuan Fatma, Fatma menurut perintah ku untuk selekasnya bersiap dan berpakaian. Tanpa bertanya Fatma melakukan semua perintah ku lalu kami menuju luar rumah yg sudah ramai dengan para Prajurit PETA dan mobil kami semua membisu karena percuma berdebat dengan para Prajurit itu,” beber Bung Karno.
“Jepang akan menembak semua warga sipil kalau keliatan keluar malam!,” entah suara siapa aku tak tahu lalu tiba tiba aku disodorkan baju seragam PETA.
“Bung pakai saja pakaian ini,” kata prajurit menyodorkan baju itu padaku.
“Bagaimana dengan Fatmawati?”, tanyaku sembari melihat ke istri dan anakku.
“Tidak apa apa, anggota PETA biasa berjalan sambil membawa keluarganya”, sahut salah satu prajurit.
Bung Karno menurut lalu berganti pakaian PETA dan selanjutnya rombongan berangkat menuju rumah Bung Hatta.
(Benny Rusmawan)