SuaraPemerintah.ID – Indonesia memiliki sumber daya alam dan tambang yang melimpah ruah. Bukan hanya itu saja yang biasa sering didengar, namun ternyata Indonesia juga memiliki “harta karun” terpendam super langka belum pernah digarap sama sekali. “Harta karun” super langka itu yakni logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth element.
SDA ini dinamakan logam tanah jarang karena didasari dengan asumsi yang menyatakan bahwa keberadaan logam tanah jarang ini jarang ditemui. Namun kenyataannya LTJ ini sangat melimpah, melebihi unsur lainnya dalam kerak bumi.
Namun, SDA ini banyak dicari keberadaannya oleh banyak negara. Pasalnya, “harta karun” ini memiliki “segudang” manfaat dan dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai peralatan yang membutuhkan teknologi modern saat ini.
Adapun beberapa peralatan membutuhkan SDA ini yakni baterai, telepon seluler, komputer, industri elektronika hingga pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/ Angin (PLTB). Lalu, bisa juga untuk bahan baku industri pertahanan hingga kendaraan listrik.
Melansir dari buku “Potensi Logam Tanah Jarang di Indonesia” yang diterbitkan Badan Geologi Kementerian ESDM 2019, logam tanah jarang (LTJ) merupakan salah satu dari mineral strategis dan termasuk “critical mineral” yang terdiri dari kumpulan dari unsur-unsur scandium (Sc), lanthanum (La), cerium (Ce), praseodymium (Pr), neodymium (Nd), promethium (Pm), samarium (Sm), europium (Eu), gadolinium (Gd), terbium (Tb), dysprosium (Dy), holmium (Ho), erbium (Er), thulium (Tm), ytterbium (Yb), lutetium (Lu) dan yttrium (Y).
Sejumlah mineral mengandung LTJ seperti monasit, zirkon, dan xenotim, merupakan mineral ikutan dari mineral utama seperti timah, emas, bauksit, dan laterit nikel.
Tak hanya itu, logam tanah jarang juga berpotensi ada pada batu bara. Adapun sumber daya logam tanah jarang dunia terdapat di beberapa tipe endapan. China merupakan penghasil LTJ terbesar di dunia. Pasalnya, China memiliki endapan LTJ dalam bentuk primer berupa produk sampingan dari tambang bijih besi, dan sekunder berupa endapan aluvial dan endapan lateritik.
Tak hanya itu, China bahkan produsen logam tanah jarang terbesar di dunia. Namun selain China, ada beberapa negara lainnya yang juga memiliki cadangan besar logam tanah jarang ini, antara lain Amerika Serikat, Rusia, Asia Selatan, Afrika bagian selatan, dan Amerika Latin.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono mengungkapkan, di Indonesia ada tiga potensi mineral yang mengandung logam tanah jarang, di antaranya dari pertambangan timah dan sudah dikonfirmasi keberadaannya. Lalu, dari tambang bauksit dan ketiga dari nikel scandium.
Dia memaparkan, Badan Geologi Kementerian ESDM sudah melakukan survei mengenai LTJ sejak 2009 sampai dengan 2020. Namun sayangnya, belum seluruh wilayah Indonesia disurvei karena keterbatasan sumber daya.
“Kalau kita lihat logam tanah jarang di Indonesia, ada di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan berbagai endapan,” ungkapnya dalam Closing Bell CNBC Indonesia, Kamis (09/09/2021).
Dia menjabarkan, di Tapanuli, Sumatera Utara terdapat sumber daya LTJ sebesar 20.000 ton. Lalu, di Bangka Belitung ada mineral monasit yang mengandung logam tanah jarang, dan monasit ini dijumpai bersama endapan timah dengan sumber daya sekitar 186.000 ton.
Sebagai negara penyimpan “harta karun” logam tanah jarang terbesar di dunia, China juga merupakan produsen logam tanah jarang terbesar di dunia. Tak heran bila perdagangan logam ini berbasis mata uang yuan China.
Melansir tradingeconomics, harga salah satu unsur logam tanah jarang yaitu neodymium di pasar pada akhir Agustus lalu tercatat sekitar 770.927 yuan China (CNY) per ton atau setara Rp 1,71 miliar per ton (asumsi Rp 2.221 per CNY).
Harga neodymium ini terlihat meningkat sejak awal 2021 di mana pada awal tahun harga berada di kisaran CNY 620.551 atau sekitar Rp.1,38 miliar per ton. Bahkan, pada Oktober 2020 harganya hanya sekitar CNY 423.810 atau sekitar Rp.941 juta per ton.
Harga ini memang sangat jauh berbeda bila dibandingkan harga batu bara di mana harga batu bara per ton kini meski sudah tinggi menembus US$ 200 per ton atau hanya Rp.2,8 juta per ton.