Selasa, April 22, 2025
spot_img
spot_img

BERITA UNGGULAN

Husein Mutahar, Keturunan Arab Penyelamat Bendera Pusaka

SuaraPemerintah.ID – Jelang Hari Ulang Tahun ke-77 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, marilah kita berkontemplasi sejenak, Bestie. Betapa hingga kini masyarakat Indonesia seolah terpecah belah, menumpahkan segala syak wasangka melalui tulisan-tulisan di media sosial.

Lihat saja di Twitter, orang-orang pengusung NKRI dan memasang emote merah putih acapkali bersumpah serapah terhadap segolongan lain yang mereka cap sebagai keturunan Arab, Yaman, atau apalah yang berbau gurun pasir atau Timur Tengah. Sementara kelompok yang di-bully pun, entah kenapa dengan bersemangat sibuk meladeni dengan pembelaan dan kadang sesekali menyerang dengan tulisan-tulisan menohok.

- Advertisement -

Miris dan prihatin, Bestie. Sangat sedih membacanya.

Mungkin benar apa yang dikatakan sebagian pengamat politik, bangsa kita berada di ujung perpecahan. Bahwasanya umur 75-80 tahun suatu negara merupakan umur paling rawan, apakah sebuah negara itu bercerai berai atau tetap kukuh bersatu padu.

- Advertisement -

Tidak ada upaya lain lagi, kita semua seluruh komponen anak bangsa lah yang harus berusaha sendiri menyelamatkan Indonesia dari perpecahan. Stop narasi dan diksi yang memecah belah. Stop kebencian dan kejahatan prasangka hati dan pikiran.

Jadikan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI sebagai momentum pemersatu seluruh komponen bangsa, berbagai suku bangsa dan keturunan lah yang telah membangun negeri ini. Bukan satu golongan atau satu suku saja. Semua berkontribusi dan berkorban sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Nah, bisa jadi mereka yang sering bantah membantah di media sosial tidak begitu memahami secara mendalam makna lagu-lagu perjuangan yang dimiliki Indonesia. Salah satunya, lagu Hari Merdeka yang sering dinyanyikan saat memperingati HUT Kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus.

Lagu ini sesungguhnya begitu memberikan semangat perjuangan kepada generasi masa kini.Lagu tersebut menegaskan bahwa ketika suatu bangsa telah merdeka, maka kemerdekaan tersebut tidak bisa direbut kembali. Penerus bangsalah yang sejatinya mempertahankan kemerdekaan itu.

Lagu Hari Merdeka juga mengandung arti kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Kemudian kesiapsediaan dalam membela dan membangun negeri tercinta, yakni Indonesia.

Sejarah telah mencatat, dan mungkin ini menjadi deretan kekecewaan panjang lagi bagi pengusung emote merah putih, bahwasanya lagu yang memiliki makna sangat dalam itu diciptakan oleh sosok keturunan Arab. Ia adalah Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Mutahar atau Habib Husein Mutahar.

Dikutip dari berbagai sumber, selain lagu Hari Merdeka, Mutahar juga menciptakan lagu-lagu lain yang tak kalah populer di telinga kita. Misalnya, himne Syukur, himne Satya Darma Pramuka, dan lagu-lagu kepanduan lain seperti Gembira, Tepuk Tangan Silang-Silang, Mari Tepuk, Slamatlah, Jangan Putus Asa, hingga Saat Berpisah.

Habib Husein Mutahar termasuk ke deretan pahlawan Tanah Air yang berjasa. Lewat lagu yang diciptakannya, ia bisa menggelorakan semangat membangun bangsa. Jujur, sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, pada saat membaca nama pencipta lagu Hari Merdeka yang tertulis H. Mutahar, pikiran pertama yang melintas adalah membacanya dengan Haji Mutahar, bukannya Husein Mutahar.

Mengutip berbagai sumber, pahlawan keturunan Arab ini lahir di Semarang, 5 Agustus 1916. Ia dikenal sebagai tokoh negarawan dalam masa awal kemerdekaan Indonesia.

Mutahar menyelesaikan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada tahun 1934 dan Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta tahun 1938. Kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1946-1947.

Pendidikannya di UGM hanya setahun. Ia memilih untuk berjuang bersama para pemuda nasionalis. Sebab setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya, bukan serta merta merdeka sepenuhnya. Justru banyak pertempuran yang terjadi pascakemerdekaan. Salah satunya pertempuran Lima Hari di Semarang. Mutahar ikut berjuang di dalam pertempuran tersebut.

Sayyid Husein Mutahar tercatat sebagai sosok yang aktif di kepanduan. Ia adalah salah satu tokoh di balik Pandu Rakyat Indonesia. Ketika organisasi kepanduan melebur menjadi satu bernama Gerakan Pramuka, Mutahar ikut terlibat di dalamnya. Bahkan, ia menciptakan lagu himne Satya Darma Pramuka yang sering dinyanyikan oleh anggota Pramuka. Lagu tersebut juga selalu dinyanyikan pada Hari Pramuka tanggal 14 Agustus.

Selain aktif di organisasi kepanduan, Mutahar juga tercatat aktif di Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Oleh Soekarno, Mutahar yang jadi ajudan presiden pertama RI itu ditugaskan untuk menyiapkan upacara kenegaraan peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 1946 di halaman Gedung Agung Yogyakarta.

Mutahar merumuskan tata cara pengibaran Bendera Pusaka. Ia membagi Paskibraka menjadi tiga kelompok. Yakni Pasukan 17 sebagai pengiring, Pasukan 8 sebagai pembawa bendera, dan Pasukan 45 sebagai pengawal.

Agresi Militer II pecah pada 19 Desember 1948. Presiden, wakil presiden, dan beberapa pejabat tinggi RI ditawan Belanda. Soekarno memanggil Mutahar sebelum Gedung Agung Yogyakarta benar-benar terkepung Belanda.

Soekarno mengamanahkan Mutahar untuk menjaga Bendera Pusaka yang dijahit oleh Fatmawati, istri Soekarno. “Aku (Soekarno) tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu (Mutahar) pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu,” kata Soekarno seperti dikutip dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.

Untuk menyiasati Bendera Pusaka direbut oleh Belanda, Mutahar membuka jahitan bendera tersebut hingga merah dan putih terpisah. Ia memasukkan bendera yang terpisah itu ke dua tas miliknya yang juga diisi dengan pakaian dan kelengkapan miliknya.

Pada Agresi Militer II Soekarno dan beberapa tokoh pejuang diasingkan Belanda ke Prapat, lalu Bangka. Sementara Mutahar ditangkap dan ditahan di Semarang selama beberapa bulan.

Setelah bebas dari tahanan, pada Juni 1949 Mutahar mendapat surat dari kepala negara. Berdasarkan surat tersebut, Mutahar menyerahkan Bendera Pusaka ke Soedjono setelah dijahit kembali.

Kemudian Bendera Pusaka itu dibawa ke Bangka. Pada 17 Agustus 1949, Bendera Pusaka kembali dikibarkan di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.

Habib Husein Mutahar wafat pada 9 Juni 2004. Keturunan Rasulullah SAW ini tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, melainkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, Jakarta Selatan.

Hal tersebut berdasarkan wasiat yang ditulisnya di hadapan notaris. Sayyid Husein Mutahar ingin dimakamkan seperti seorang rakyat biasa.

- Advertisement -

Kirimkan Press Release berbagai aktivitas kegiatan Brand Anda ke email [email protected]

Artikel Terkait

Suara Hari Ini

Ikuti Kami

10,502FansSuka
392PengikutMengikuti
7PengikutMengikuti
2,860PelangganBerlangganan

Terbaru