Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan baru terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), menetapkan bahwa jangka waktu perjanjian kerja tersebut tidak boleh melebihi lima tahun, termasuk dalam hal perpanjangan. Putusan ini merupakan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, menyatakan bahwa Pasal 56 ayat (3) tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. “Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12… bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa jangka waktu PKWT adalah paling lama lima tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan,” jelasnya.
“Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 … bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama lima tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan,” kata Ketua MK Suhartoyo.
Sebelum perubahan ini, Pasal 56 ayat (3) berbunyi: “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja.” Namun, MK menilai bahwa kedudukan pekerja dan pengusaha tidak seimbang dalam perjanjian tersebut, sehingga pengaturan jangka waktu PKWT perlu diatur dalam undang-undang dan bukan dalam perjanjian tambahan atau peraturan turunan lainnya.
“Norma yang mengatur mengenai jangka waktu PKWT merupakan norma yang sangat penting untuk diatur dalam undang-undang, sehingga perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja atau buruh harus mendasarkan pada norma dalam undang-undang,” kata Hakim Konstitusi Arsul Sani membacakan pertimbangan hukum MK.
Sementara itu, terkait dengan penentuan secara definitif lamanya jangka waktu PKWT, MK sejatinya berpendirian bahwa hal tersebut termasuk ke dalam kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
Namun, menurut MK, posisi buruh dalam perjanjian kerja tidak seimbang dengan pengusaha atau pemberi kerja. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU Nomor 6 Tahun 2023 menimbulkan ketidakadilan yang tidak bisa ditoleransi.
Atas dasar itu, sebelum Pasal 81 angka 12 UU Nomor 6 Tahun 2023 diubah oleh pembentuk undang-undang, MK menegaskan jangka waktu PKWT adalah paling lama lima tahun, sebagaimana yang selama ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.
Tidak hanya itu, MK juga menyatakan bahwa perjanjian kerja PKWT harus dibuat secara tertulis. Hal ini untuk memberikan perlindungan atas hak-hak pekerja atau buruh, baik terkait dengan jangka waktunya atau selesainya pekerjaan.
Berkaitan dengan hal ini, MK mereformulasi norma Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran UU Cipta Kerja menjadi: “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”.
Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Para pemohon mengajukan 71 poin petitum yang terdiri dari tujuh klaster dalil, yakni dalil mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya (outsourcing), cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon (UP), uang penggantian hak upah (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK).
Cek Artikel dan Berita yang lainnya di Google News