Sabtu, Maret 22, 2025
spot_img
spot_img

BERITA UNGGULAN

Kejagung Tetapkan 7 Tersangka Kasus Korupsi Minyak, Kerugian Capai Rp193,7 Triliun

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa ketujuh tersangka berasal dari berbagai latar belakang, termasuk empat petinggi anak perusahaan BUMN dan tiga pihak swasta.

- Advertisement -

“Tim penyidik pada malam hari ini menetapkan 7 orang sebagai tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam jumpa pers, Senin (24/2).

Berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup, Tim Penyidik menetapkan 7 (tujuh) orang Tersangka yakni sebagai berikut:

- Advertisement -
  • RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
  • SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional.
  • YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
  • AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
  • MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
  • DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.
  • GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

“Setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan yang bersangkutan dinyatakan sehat, selanjutnya tim penyidik melakukan penahanan terhadap para tersangka 20 hari ke depan,” ujar Qohar.

Kasus ini berawal dari kebijakan pemerintah pada 2018-2023 yang mewajibkan pemenuhan minyak mentah dari dalam negeri sebelum melakukan impor. Aturan ini tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018.

Saat itu, perusahaan BUMN tersebut kemudian diwajibkan untuk mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor.

Namun, tersangka RS, SDS, dan AP diduga melakukan manipulasi dalam Rapat Organisasi Hilir (ROH) untuk menurunkan produksi kilang. Akibatnya, minyak mentah dalam negeri tidak terserap sepenuhnya, sehingga perusahaan BUMN terpaksa mengimpor minyak.

“Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor,” ungkap Qohar.

Selain itu, produksi minyak mentah dari KKKS juga sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis dan spesifikasi teknis. Padahal, minyak tersebut masih layak diolah dan harganya masih sesuai harga perkiraan sendiri (HPS). Akibatnya, minyak mentah Indonesia malah diekspor, sementara dua anak perusahaan BUMN justru melakukan impor dengan harga lebih tinggi.

“Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor,” jelas Qohar.

Dua anak perusahaan BUMN itu lalu melakukan impor minyak mentah dan produk kilang. Di mana, perbedaan harga pembelian minyak bumi impor sangat signifikan dibandingkan dari dalam negeri.

Dalam kegiatan ekspor minyak juga diduga telah terjadi kongkalikong antara para tersangka. Mereka sudah mengatur harga untuk kepentingan pribadinya masing-masing dan menyebabkan kerugian negara.

“Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan,” ucap Qohar.

Salah satu bentuk manipulasi dilakukan oleh tersangka RS dalam pembelian produk kilang. RS diduga membeli produk dengan spesifikasi RON 92, tetapi yang diterima justru RON 90 yang kemudian diolah kembali.

Selain itu, penyidik juga menemukan adanya dugaan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor yang dilakukan oleh tersangka YF. Sehingga, negara perlu membayar biaya fee tersebut sebesar 13-15 persen.

Berkat serangkaian perbuatan para tersangka tersebut juga menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN.

“Adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun,” kata Qohar.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Cek Artikel dan Berita Lainnya di Google News

- Advertisement -

Kirimkan Press Release berbagai aktivitas kegiatan Brand Anda ke email [email protected]

Artikel Terkait

Suara Hari Ini

Ikuti Kami

10,502FansSuka
392PengikutMengikuti
7PengikutMengikuti
2,850PelangganBerlangganan

Terbaru