Suarapemerintah.id – Alor. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi terus berkomitmen untuk meningkatkan pelestarian dan literasi budaya kemaritiman di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya di wilayah Indonesia Bagian Timur yang memiliki nilai historis pelayaran nusantara. Hal inilah yang melatarbelakangi, Biro Komunikasi bekerja sama dengan Staf Ahli Bidang Sosio-Antropologi menggelar Focus Group Discussion (FGD) Pelestarian Budaya dan Adat Kerajaan Kui pada Jumat-Sabtu, 09 -10 Oktober 2020 di Alor, Nusa Tenggara Timur.
Dalam sambutannya, Staf Ahli Bidang Sosio-Antropologi, Tukul Rameyo menyampaikan bahwa budaya bahari dapat menjadi atraksi utama untuk menarik wisatawan sehingga penting dikembangkan dalam 5 tahun ke depan (2020 – 2024).
“Karena itulah ada program prioritas yang terkait dengan pariwisata yang pada dasarnya butuh dukungan dari peran budaya dan warisan budaya,” tegas Tukul Rameyo.
Ditambahkan Tukul, terdapat enam (6) program utama kebijakan budaya bahari, di antaranya pertama, peningkatan literasi maritim yang di dalamnya berisi mengenai pemahaman dan minat budaya maritim Nusantara (pengetahuan tradisi dan kurikulum maritim). Kedua, harmonisasi nilai lokal ke dalam norma pengelolaan sumber daya kelautan. Ketiga, revitalisasi peran kota pelabuhan bersejarah.
Keempat, wawasan dan budaya bahari (menghidupkan dan memelihara budaya maritim nusantara seperti ekspedisi, festival, seminar, dan gaya hidup). Kelima, pengembangan teknologi berbasis kearifan bahari (pertanian, bangunan, perkapalan farmasi, tata kelola SDA, dan kuliner), dan keenam inventarisasi nilai budaya dan sistem sosial kelautan.
“Berdasarkan sejarah, Alor merupakan lintasan dan tempat singgah kapal Magelhaens saat mencari rempah 500 tahun yang lalu, yang saat ini pelayaran itu dirayakan kembali, dan diharapkan tiba di perairan kita tahun depan. Alor juga memiliki keunikan fenomena alam seperti habitat dugong dan lintasan migrasi paus dan lumba-lumba. Untuk itulah salah satunya, kita akan promosikan Alor,” tambah Tukul Rameyo.
Pada kesempatan yang sama, Bupati Alor, Amon Djobo menegaskan bahwa Alor merupakan daerah pejuang yang memiliki 48 rumpun bahasa dan memiliki 7 kerajaan. Sedangkan Kerajaan Kui adalah salah satu kerajaan terbesar kedua setelah kerajaan Alor. Beberapa peninggalan sejarah yang menarik di Alor diantaranya masjid tua yang berumur 4 setengah abad, yang di dalamnya tersimpan Al-Qur’an tua yang ditulis di kulit kayu serta alat-alat shalat yang tradisional.
“Alor memiliki keragaman budaya yang kuat, di tengah kemajuan teknologi yang ada Alor tidak pernah melupakan sejarah dan budaya”, tegas Amon Djobo seraya berharap setelah Focus Group Discussion akan ada tindak lanjut teknis promosi budaya di Alor.
Perwakilan Kepala Kampung Adat Kerajaan Kui yang juga hadir sebagai narasumber menambahkan di Alor ada Kerajaan Kui yang terdiri dari beberapa suku, di antaranya adalah suku Abui, suku Kelon, suku Amang, dan suku Masin.
“Kerajaan Kui merupakan kerajaan yang berada di Indonesia Timur, yang sudah ada sejak abad 18 awal dan sudah mulai terkenal pada masa penjajahan Belanda. Kerajaan Kui ini merupakan kerajaan maritim yang erat hubungannya dengan laut, sehingga titik berat perhatian raja lebih banyak pada perdagangan dan pelayaran,” ungkap Kepala Kampung Kui Nazarudin Kinanggi.
Ditambahkan Nazarudin, pentingnya sektor kemaritiman melatarbelakangi para raja untuk memberikan perhatian khusus mengenai transportasi, salah satunya dengan pembuatan sampan dan perahu berukuran besar yang digunakan untuk menghubungkan pusat- pusat ekonomi sampai dengan hal-hal yang berkaitan dengan politik.
Pengenalan budaya dan adat budaya di Alor juga dikuatkan melalui kunjungan budaya ke Museum Seribu Moko dan Kerajaan Kui. Selain diikuti oleh perwakilan pegawai dari Kemenko Marves, FGD juga diikuti oleh perwakilan pemerintah daerah, mahasiswa, dan masyarakat Alor.