SUARAPEMERINTAH.ID – Sebagian besar negara memiliki kisah kemerdekaannya sendiri. Sebuah kisah tentang perjuangan dan ketangguhan mereka dalam memperoleh kemerdekaan yang didorong oleh cita-cita untuk dibebaskan dari belenggu penindasan. Penjajahan dan penaklukan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah, begitu pula masa lalu Indonesia.
Sudah lebih dari 70 tahun kita menikmati kemerdekaan yang dirayakan setiap tanggal 17 Agustus. Langkah yang ditempuh Indonesia untuk mencapai prestasi tersebut tidaklah mudah, dan di era kemerdekaan ini, untuk menghormati pengorbanan para pejuang yang telah membantu dalam meraih kemerdekaan, sudah sepatutnya kita selalu mengingat dan haturkan teirma kasih kepada mereka yang berjuang dalam perjuangan tetapi tidak pernah hidup untuk melihat kemerdekaan.
Kami dapati 7 pahlawan dari banyak pahlawan lain yang telah memainkan peran utama dalam membentuk Indonesia seperti sekarang ini, tetapi tidak pernah memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari kejayaan yang mereka perjuangkan:
Jadi inilah 7 pahlawan Indonesia yang tidak pernah hidup untuk melihat kemerdekaan…
1. Teuku Umar (1854 – 1899)
Teuku Umar adalah salah satu ahli strategi Indonesia pada masa penjajahan. Lahir di Aceh, 1854, ia berjuang dalam Pertempuran Aceh ketika ia baru berusia 19 tahun, meskipun pasukannya terpaksa mundur pada tahun 1878.
Ia menikah dengan Cut Nyak Dhien pada tahun 1880 dan berpura-pura menerima tawaran Belanda untuk perjanjian damai dan setelah memperoleh senjata yang cukup dari Belanda dengan mengatakan bahwa ia membutuhkan lebih banyak senjata untuk berhasil dalam misi, Teuku Umar membagikan senjata kepada pasukannya sendiri di Aceh dan berperang melawan Belanda sekali lagi. Bukan kali itu saja Teuku Umar berhasil mengecoh pihak Belanda; dia melakukannya sekali lagi pada tahun 1896 sebelum ditembak oleh Belanda pada tahun 1899.
2. Sultan Hassanudin (1631 – 1670)
Sultan Hassanudin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur, atau de Haav van de Oesten dalam bahasa Belanda, karena keberanian dan kegagahannya dalam melawan penjajahan fisik di Makassar, Sulawesi Selatan, 1631.
Ia berusaha menyatukan semua kerajaan di sisi Timur Indonesia untuk berperang melawan Belanda yang dimulai pada tahun 1660. Sultan Hassanudin bahkan berhasil menguasai dua kapal penjajah, de Walvis dan Leeuwin. Dia menandatangani salah satu perjanjian paling terkenal selama era kolonial, Perjanjian Bongaya, yang menandai dimulainya monopoli pasar oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda. Sultan Hassanudin meninggal pada tahun 1670, mengakhiri usaha keberaniannya yang luar biasa.
3. Cut Nyak Dhien (1848 – 1908)
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848, Aceh. Tumbuh dalam keluarga dan masyarakat patriarki saat itu, ia menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, yang kehilangan nyawanya saat perang melawan Belanda.