SuaraPemerintah.ID– Siapa bilang pertempuran besar era revolusi fisik (1945–1949) hanya terjadi di Bandung atau wilayah Jawa Tengah dan Timur? Bekasi di pinggir timur Jakarta juga menyimpan banyak kisah heroisme yang luput dari pengetahuan generasi sekarang.
Seperti di area Pondok Ungu misalnya, banyak warga sekitar dan para pekerja pabrik-pabrik di Pondok Ungu, buta nan heroik di situ. Kalaupun melalui Pondok Ungu untuk berbagai aktivitas, paling-paling sekadar lewat dan tak insaf bahwa ratusan petarung kemerdekaan pernah menyambung nyawa di situ.
Padahal menengok beberapa literatur yang ada, seperti buku ‘Ulama Pejuang: Biografi KH Noer Ali’ dan ‘Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreini Moe’min’, pernah terjadi clash atau bentrokan dahsyat pertama antara pihak republik dengan sekutu di Bekasi.
Kalau mau tahu jalan ceritanya, alkisahnya tak lepas dari peristiwa Pesawat Dakota Sekutu yang mendarat darurat di Cakung pada 23 November 1945. Serdadu Inggris berjumlah 25 orang yang selamat pada akhirnya tinggal nama setelah dibantai.
Seminggu berselang pada 29 November, mereka masuk ke Bekasi dari Jakarta dengan kekuatan Pasukan Punjab ke-1/16, Pasukan Perintis ke-13, Resimen Medan ke-37, Detasemen Medan ke-69, serta Kavaleri FAVO ke-11 yang mengikutsertakan 50 truk, beberapa Tank Stuart, dan lima artileri medan.
Mereka dari Jakarta menyusuri Bekasiweg (kini Jalan Raya Bekasi). Tapi sesampainya di Rawa Pasung (Kranji), mereka sempat lebih dulu dikejutkan serangan man-to-man kelompok pesilat asal Subang.
Kewalahan karena sejumlah personel mereka bertumbangan, Inggris mundur lagi untuk balik ke arah Jakarta. Sialnya saat sampai di Pertigaan Pondok Ungu (kini Jalan Sultan Agung), getir penyergapan kembali mendera.
Skalanya lebih besar dan sekutu pun kewalahan meladeni “jepitan” laskar pimpinan KH Noer Ali dan TKR Laut di bawah komando Kapten Madmuin Hasibuan. Sergapan besar dari arah Kampung Sasak Kapuk itu bikin sekutu gelagapan dan butuh waktu mengatur pertahanan.
Setelah mampu mengorganisasi pertahanannya, barulah Inggris bisa membalas dengan muntahan peluru-peluru mortir dan meriam. Di situlah puluhan rakyat dan murid-murid KH Noer Ali berguguran.
Inggris yang sudah mulai di atas angin, akhirnya bisa bergerak mundur ke Jakarta lagi dengan korban yang tak kalah banyaknya. Semenjak itu, tak pernah lagi KH Noer Ali melibatkan laskarnya dalam pertempuran frontal dan memilih mengandalkan gerilya.
“Iya sejak Pertempuran Sasak Kapuk atau Pertempuran Pondok Ungu ini, KH Noer Ali belajar dari pengalaman. Enggak mau lagi bertempur secara frontal dan pilih metode perang gerilya,” sebut penggiat sejarah Bekasi Beny Rusmawan.
Memang tak ada tugu penanda di persimpangan yang acap macet di jam-jam berangkat atau pulang kantor ini. KH Noer Ali sendiri baru didaulat dengan status pahlawan nasional pada 2006.
Namun pada Sabtu (12/11/2016) pagi, peristiwa ini kembali direka ulang untuk kali pertama di Alun-alun Lapangan Pondok Pesantren Attaqwa. Pesantren yang dulu juga didirikan mendiang KH Noer Ali.
Reka ulang dengan menyertakan truk dan jip era Perang Dunia II ini, merupakan bagian dari gelaran Peringatan Hari Pahlawan yang diprakarsai Ikatan Arbituren Attaqwa (IKAA) beserta para siswanya dan reenactor (pereka ulang sejarah) Komunitas Front Bekasi, Historia van Bandoeng, Djokjakarta ‘45, Roode Brug Soerabaia, serta Jakarta dan Temanggung.
“Generasi sekarang ini kita lihat nasionalismenya mulai kendur. Makanya kita giat menggelar ini agar masyarakat tahu bahwa ada pertempuran di Pondok Ungu,” timpal Nurkholis Wardi selaku ketua panitia.
“Bahwa para ulama, termasuk KH Noer Ali, punya peran besar memperjuangkan bangsa ini. Direkatkan perjuangan umat Islam zaman dulu dengan agama lain hingga tercipta kesatuan bangsa yang terdiri dari berbagai etnis, suku, dan agama,” tandasnya.
(Randy Randy Wirayudha)