SuaraPemerintah.ID – Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan bakal ada dampak besar dari perang antara Rusia dan Ukraina, salah satunya adalah kenaikan harga mie instan. Ia memprediksi nilai kenaikannya bakal terasa signifikan dari yang terjadi saat ini.
“Belum selesai dengan climate change, kita dihadapkan Perang Ukraina-Rusia, dimana ada 180 juta ton gandum ngga bisa keluar, jadi hati-hati yang makan mi banyak dari gandum, besok harganya (naik) 3x lipat,” katanya dalam webinar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Senin (8/08) dilansir cnbcindonesia.com.
Kenaikan harga itu otomatis bakal terjadi karena bahan baku mie instan tersebut sangat bergantung pada impor. “Saya bicara ekstrem aja, ada gandum tapi harganya mahal banget. Sementara kita impor terus,” kata Syahrul.
Rusia dan Ukraina merupakan negara penghasil gandum terbesar dunia. Kedua negara menyuplai sekitar 30-40 persen dari kebutuhan gandum dunia. Dengan situasi perang saat ini, gandum menjadi langka karena pasokan terhambat. Sementara gandum adalah salah satu bahan baku mi instan. Walhasil, kenaikan harga gandum di pasar internasional otomatis ikut mengerek harga mie instan di dalam negeri.
Pengusaha makanan olahan mengungkapkan, stok gandum hanya tersisa sekitar sebulan. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan mengingat salah satu sumber gandum dunia, yakni India sedang melarang ekspor komoditas ini.
“Gandum saya cek ke anggota kira-kira sampai Juni cukup, cuma masalahnya kontrak yang sedang dijajaki dengan India dan sebagainya harus dicarikan setelah Juni,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi SÂ Lukman, Rabu (18/05).
Meski demikian, India tetap membuka peluang ekspor gandum kepada beberapa negara tertentu. Tercatat, India mengekspor 1 juta ton gandum pada bulan April, terutama pada negara tetangga seperti, Bangladesh, Nepal, dan Sri Langka. Peran pemerintah pun menjadi lebih penting.
“Saya dapat informasi pemerintah India melarang ekspor gandum tapi masih ada peluang G2G (dialog antarpemerintah). Mudah-mudahan G2G kita jalan dengan India, sehingga bisa kasih kesempatan untuk impor gandum dari India. Support G2G sangat penting, saya dengar ada beberapa negara yang mengkomunikasikan dan mendapat respon baik dari India. Ini harus diupayakan pemerintah agar kesediaan bahan baku Indonesia bisa dicukupi,” katanya.
Lebih jauh Ia menjelaskan, perusahaan dari beberapa negara lain masih ada yang mengupayakan dengan cara Business to Business (B2B). Perusahaan Indonesia harus mulai mengalihkan kebutuhan yang selama ini dari India, dipindahkan ke negara produsen gandum lain seperti Kanada hingga Amerika Serikat.
Apalagi, kebutuhan gandum Indonesia sangat besar, mencapai 11,5 juta ton gandum per tahun. Jika tidak, produsen pun sudah mulai mengambil langkah lainnya, yakni substitusi bahan baku.
“Dari perusahaan harus mencoba mengembangkan produk baru dari substitusi gandum. Memang ngga mudah, tapi mau nggak mau dilakukan, apa gandumnya berkurang 10-20 persen, itu cukup membantu. Ini harus dikembangkan, dengan catatan substitusi bahan baku lain tercukupi dari dalam negeri juga. Jangan sampai gandum ngga ada, kita impor yang lain,” sebut Adhi.
“Indonesia luas potensinya, besar tapi harus disiapkan dari hulunya, jangan sampai kekurangan, apa itu sagu, tapioka tepung-tepungan lain yang harus kita siapkan dari dalam negeri,” lanjutnya.