Bagi umat Islam khususnya, kata Wamenag, zakat adalah sumber dana yang bermartabat untuk melindungi dan memberdayakan lapisan masyarakat yang lemah dan mengalami keterbatasan ekonomi. Sehingga, kesetaraan sosial dan demokrasi ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan pokok dan kehidupan layak bagi setiap penduduk warga negara secara perlahan dapat diwujudkan.
Dijelaskan Wamenag, secara fungsional zakat memiliki dua dimensi. Pertama, adalah dimensi ibadah, yakni kewajiban untuk mengeluarkan harta yang kita miliki apabila telah mencapai nishab. “Bagi yang kaya wajib hukumnya berzakat, sementara infak dan sedekah dianjurkan bagi setiap muslim,” tuturnya.
Hal kedua, lanjut Wanenag, adalah dimensi sosial dan ekonomi yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan kesejahteraan umat. Nabi Muhammad SAW memperingatkan umatnya tentang tiga hal, yakni kemiskinan, kebodohan dan penyakit, yang merupakan musuh kemanusiaan. Ketiga hal itu dapat menggoyahkan sendi kehidupan, menghancurkan ketenteraman, menghalangi ukhuwah serta meruntuhkan kemandirian dan kejayaan bangsa.
“Di sinilah kita melihat betapa penting dan strategisnya zakat dan wakaf sebagai sistem pendistribusian kekayaan yang memungkinkan setiap orang dalam segala kondisi terjamin kebutuhan pokoknya,” ujarnya.
Islam tidak membiarkan isu kemiskinan melahirkan keresahan sosial atau menyuburkan tindak kekerasan dan kemerosotan moral di masyarakat. “Zakat dan filantropi Islam lainnya, seperti wakaf dan sebagainya adalah solusi terbaik yang diajarkan Islam untuk mengatasi kesenjangan pendapatan dan kekayaan di masyarakat serta menutup celah-celah kerawanan sosial yang bersumber dari kemiskinan,” tandasnya.